kajian surat Al Ma'un
Surat al-Mâ’ûn, dengan ringkas, menolak ibadah formalistik (‘ibâdah shûriyah).
Ia memandang bahwa menolong orang susah merupakan syarat iman, seperti
khusyuk yang merupakan syarat bagi mendirikan shalat. Ia juga mengancam
orang yang enggan menolong orang yang membutuhkan dengan neraka. Tulisan
ini pertama, memberikan wawasan umum tentang surat al-Mâ’ûn, dan kedua,
menggali pesan-pesan sosial yang terkandung dalam surat al-Ma’ûn.
Diharapkan tulisan ini menjadi sumbangsih dalam menegaskan kembali bahwa
Islam adalah agama yang utuh; tidak condong pada aspek ritual dengan
mengorbankan aspek sosial. Islam juga menghendaki para pemeluknya
menjadi pribadi-pribadi yang khusyuk dalam ibadah ritual serta giat
menebarkan kesalehan sosial.
- A. Pendahuluan
Banyak metode telah dikembangkan oleh para ulama tafsir dalam rangka
membedah, menyingkap dan menjelaskan isi-kandungan serta pesan-pesan
yang dikandung oleh al-Qur`an. Di antara metode-metode itu, menurut
banyak pakar, metode tematik (mawdhui) memiliki sejumlah keunggulan dibanding metode-metode lainnya.[1]
Karena itu, tulisan ini mengambil metode tersebutsebagai metode atau
pola yang akan dipedomani dalam membahas dan mengupas satu surat yang
telah ditentukan, yakni surat al-Mâ’ûn.
Metode tematik yang akan ditempuh dalam tulisan ini adalah metode
tematik berbasis surat. Metode tematik surat adalah penafsiran
menyangkut satu surat dalam al-Qur`an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta
menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.[2]
Surat al-Mâ’ûn dipilih dengan pertimbangan, di antaranya, bahwa surat
ini dengan amat nyata mempertalikan keberagamaan dengan tindakan
(kesalehan) sosial. Dengan ungkapan lain, surat al-Mâ’ûn sangat kental
dengan pesan-pesan sosial.
Tulisan ini pertama-tama memberikan wawasan umum tentang surat al-Mâ’ûn menyangkut nama surat, makiyah-madaniyah, sabab nuzûl,
isi-kandungan dan lain sebagainya. Kemudian coba menggali pesan-pesan
sosial yang terkandung dalam surat al-Ma’ûn. Besar harapan, tulisan ini
dapat menjadi sumbangsih sekadarnya, sekurangnya dalam menegaskan
kembali bahwa Islam beserta seluruh perangkat ajarannya diformulasikan
untuk melahirkan pribadi-pribadi yang bukan hanya khusyuk dalam ibadah
ritual tapi juga giat dalam menebarkan kesalehan sosial.
- B. Sekilas tentang Surat al-Mâ’ûn
Dalam mushhaf
surat al-Mâ’ûn berada di urutan ke-107, setelah surat Quraisy sebelum
surat al-Kautsar. Sedang berdasarkan kronologi turunnya, surat al-Mâ’ûn
menurut mayoritas ulama turun di Mekah (makiyyah). Namun sebagian menyebutnya turun di Madinah (madaniyyah).
Ada pula yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun
di Mekah dan sisanya di Madinah. Alasannya, yang dikecam oleh ayat
keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru muncul
setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Selain al-Mâ’ûn, surat ini juga memiliki nama-nama lain seperti al-Dîn, al-Takdzîb, al-Yatîm, Ara`aita, dan Ara`aita al-Ladzî.[3]
Al-Wahidi, mengutip Muqâtil dan al-Kalabi, mengatakan bahwa surat ini
turun berkenaan dengan al-‘Âsh bin Wâ`ilî al-Suhami. Sementara itu Ibn
Juraij, masih kata al-Wahidi, mengatakan bahwa Abû Sufyân ibn Harb biasa
menyembelih antelope setiap minggu. Suatu kali, setelah menyembelih, ia
didatangi seorang anak yatim dan meminta sedikit dari dagingnya.
Bukannya memberi, Abû Sufyân malah memukul anak yatim itu dengan
tongkat. Ketika itulah turun surat ini.[4]
Ditinjau dari sisi kesinambungan dan relasi kandungan makna (munâsabah), surat al-Mâ’ûn memiliki munâsabah
baik dengan surat sebelumnya (surat Quraisy) maupun sesudahnya (surat
al-Kautsar). Surat Quraisy memerintahkan orang-orang Quraisy supaya
menyembah Tuhan Pemilik Ka’bah. Surat ini secara tersirat menyatakan
bahwa perintah menyembah Allah itu dikaitkan dengan kenyataan bahwa Dia
telah memberi mereka makan dan rasa aman. Makan telah menjauhkan mereka
dari lapar dan rasa aman memberi mereka perlindungan dari ketakutan.
Artinya, terdapat hubungan erat antara ibadah dengan ketersediaan bahan
pangan dan rasa aman; terdapat keterkaitan nyata antara ibadah dengan
kesejahteraan ekonomi dan terkendalinya keadaan. Dalam pandangan yang
lebih menyeluruh, urusan-urusan ubudiyah murni yang bersifat vertikal
tidak dapat dipisahkan dengan urusan-urusan kemanusiaan-sosial yang
bersifat horisontal.
Demikian surat Quraisy. Sementara itu surat al-Mâ’ûn dengan tegas
menyatakan bahwa keberagamaan yang tidak ditopang dengan
kesalehan-kesalehan di ranah sosial justru berlawanan dengan
keberagamaan itu sendiri. Surat al-Mâ’ûn menggariskan bahwa rasa aman
dari rasa lapar dan dari ketakutan yang menjadi alasan kenapa Tuhan
wajib disembah; semua itu (kecukupan pangan dan keamanan) haruslah
menjadi milik bersama. Surat al-Mâ’ûn menyatakan bahwa orang-orang yang
mengaku beragama tapi gemar menghardik anak yatim atau tidak terdorong
memberi makan pada orang miskin; mereka adalah para pendusta agama.
Surat ini juga menggariskan bahwa orang-orang yang shalatnya hanya
formalitas, melakukan kebaikan hanya karena ingin dilihat orang, dan
enggan mengulurkan tangan memberi bantuan pada yang membutuhkan; mereka
itu tergolong orang-orang yang celaka.
Munâsabah juga terjadi dengan surat setelahnya, yakni surat
al-Kautsar. Seperti surat Quraisy yang mengaitkan ibadah dengan
kecukupan pangan dan rasa aman, surat al-Kautsar juga menggandengkan
nikmat yang banyak pemberian Tuhan dengan kewajiban mendirikan shalat.
Perintah mendirikan shalat disusul langsung dengan perintah berkurban; maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.
Dalam hemat penulis, ayat inilah inti dari surat al-Kautsar yang sama
dengan inti surat al-Mâ’ûn. Mendirikan shalat yang merupakan simbol
ketaatan ritual haruslah melahirkan kesalehan di wilayah
mu’amalah-sosial. Dalam hal ini perintah berkurban merupakan lambang
bagi kesalehan sosial itu.
Kembali ke surat al-Mâ’ûn. Terlepas dari perbedaan pendapat apakah surat ini makiyyah atau madaniyyah, yang jelas semua ayatnya merupakan satu-kesatuan yang utuh dan saling terkait (wahdah mutamâsikah);
semuanya mengacu ke satu arah tentang hakikat penting dan besar yang
berhubungan langsung dengan persoalan iman dan kufur. Surat ini sedang
memadukan dua aspek penting dalam keberagamaan: aspek akidah-keimanan
dengan aspek kasih sayang kemanusiaan. Agama ini (Islam) bukan agama mazhâhir wa thuqûs
(formalistik-ritualistik). Ibadah formal dan ketaatan ritual tidak
dapat memenuhi tuntutan Islam selama tidak berlandaskan ikhlas dan
ketulusan serta tidak melahirkan kesalehan di tataran sosial. Kesalehan
sosial tercermin dalam perilaku yang mendatangkan kemaslahatan dan
meningkatkan kualitas hidup sesama manusia.[5]
Islam bukan agama yang terpecah-pecah, terpenggal-penggal, atau
terbagi-bagi di mana penganutnya bisa menunaikan sebagiannya dan
meninggalkan sebagian lainnya. Islam merupakan jalan hidup yang
komprehensif dan terpadu; ibadah-ibadah formalnya berpadu erat dengan
pesan-pesan sosialnya, ajaran-ajarannya menyangkut kehidupan individu
berkaitan erat dengan ajaran-ajarannya menyangkut kehidupan komunal.
Semua unsurnya; yang ritual-formal dan yang sosial, yang individual dan
yang komunal, bermuara pada satu tujuan yaitu mensucikan hati,
membereskan kehidupan manusia, serta mewujudkan kerjasama antara sesama
manusia dalam kebaikan, kemaslahatan dan pembangunan. Dengan demikian,
Islam adalah perwujudan kasih sayang Allah yang memancar dan
menyejahterakan hamba-hamba-Nya.[6]
Bisa saja seseorang berkata, “Aku ini Muslim dan membenarkan agama
ini beserta ajaran-ajarannya,” dan ia juga menjalankan shalat dan
ritual-ritual formal lainnya, akan tetapi hakikat iman dan pengakuannya
masih jauh darinya. Hakikat itu adalah bukti-bukti nyata bagi iman dan
pengakuan lisannya. Selama tidak ada bukti, selama itu pula dianggap
tidak ada iman dan pengakuan, betapa pun yang bersangkutan fasih
berkata-kata dan rajin menjalankan ibadah-ibadah ritual. Ketika hakikat
iman terpatri dalam hati, ia akan bergerak untuk membuktikan dan
menunjukkan dirinya dalam amal-saleh. Jika pergerakan itu tidak ada maka
hakikat itu pun tidak ada. Inilah yang ditegaskan oleh surat al-Mâ’ûn.[7]
Tentang surat ini, Muhammad al-Ghazali dalam Nahw Tafsîr Mawdhû’î lî Suwar al-Qur`ân al-Karîm menulis,
“Penganut sejati agama sangat peka terhadap nasib sesamanya yang
kurang beruntung, maka ia pun bangkit untuk membantunya. Penganut sejati
agama tidak betah melihat saudaranya lemah maka ia berusaha membuatnya
kuat, tidak nyaman melihatnya berkekurangan maka ia berupaya
menjadikannya berkecukupan, tidak sudi melihat anak yatim tanpa
pelindung maka ia bangkit membesarkannya, tidak senang melihat
saudaranya hidup dikepung kesusahan maka ia segera membantunya sampai
saudaranya itu mapan.
Namun sebagian dari mereka yang mengaku beragama mengabaikan
kewajiban (sosial) ini. Akibatnya lahirlah filsafat (ideologi-ideologi)
yang menafikan Tuhan dan hari akhir. Komunisme adalah yang terakhir dari
ideologi itu. Ia berhasil menguasai separuh dunia atau memengaruhi
separuh lainnya.
Sekiranya para penganut agama, utamanya kaum Muslimin, benar-benar
komit dengan agamanya dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya
pengamalan, maka ideologi yang menafikan Tuhan itu tidak akan muncul.
Iman merupakan saudara kedermawanan dan keadilan, sedang syirik adalah
saudaranya kikir dan tirani.”[8]
Al-Ghazali mengakhiri renungannya tentang surat al-Mâ’ûn,
“Surat al-Mâ’ûn, dengan ringkas, menolak ibadah formalistik (‘ibâdah shûriyah).
Ia memandang bahwa menolong orang susah merupakan syarat iman, seperti
khusyuk yang merupakan syarat bagi mendirikan dan menunaikan shalat. Ia
juga mengancam orang yang enggan menolong orang yang membutuhkan dengan
neraka.”[9]
- C. Pesan-pesan Sosial Surat al-Ma’ûn
Secara tematik, surat al-Mâ’ûn dapat dibagi menjadi dua tema utama
yang satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Yaitu, pertama, keharusan adanya pemahaman dan pola perilaku keberagamaaan yang utuh-menyeluruh. Kedua,
setiap penganut agama (Islam) wajib taat secara ritual lalu
menindaklanjuti ketaatan ritulannya itu dengan menebarkan kesalehan di
arena sosial. Berikut ulasan untuk masing-masing tema tersebut:
- 1. Keberagamaan yang Utuh
Sebagian besar jazirah Arabia diliputi padang sahara. Hal ini
menjadikannya luput dari pertanian kecuali di tempat-tempat tertentu
khususnya Yaman dan Syâm. Sedangkan beberapa oase yang ada di kawasan
ini dimanfaatkan oleh orang-orang Arab badwi untuk menggembala unta dan
kambing. Meski bisa dibilang luput dari dunia pertanian, tapi posisinya
yang strategis antara Afrika dan Asia Timur, menjadikan jazirah Arabia
sebagai sentra perdagangan internasional yang cukup terkemuka pada waktu
itu. Penduduk jazirah Arabia yang menekuni dunia perdagangan adalah
orang-orang kota, terutama penduduk kota Mekah. Orang-orang Quraisy
mempunyai dua musim perjalanan dagang berskala besar: musim dingin ke
Yaman, dan musim panas ke Syâm. Perjalanan ini diluar
perjalan-perjalanan kecil lainnya yang berlangsung sepanjang tahun.[10]
Memasuki awal abad ke-7 bangsa Quraisy menjadi bangsa yang kaya.
Secara alamiah mereka memandang kekayaan dan kapitalisme sebagai juru
selamat, yang telah menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan mara
bahaya, dan memberi mereka rasa aman. Namun kapitalisme agresif tidak
sesuai dengan etika kesukuan yang bersifat komunal. Kapitalisme secara
alamiah mendorong keserakahan dan individualisme. Beberapa klan yang
lemah, termasuk klan Hâsyim di mana Muhammad dilahirkan, tidak sesukses
lainnya dan merasa terdesak. Bukannya membagi kekayaan mereka secara
merata sebagaimana etika suku lama, setiap orang menimbun harta
pribadinya sendiri. Mereka mengeksploitasi hak-hak anak yatim dan para
janda, menyerap warisan mereka ke dalam kekayaan mereka sendiri dan
tidak merawat anggota-anggota suku yang lebih miskin dan lemah
sebagaimana etos lama mengharuskan mereka. Dalam konteks inilah
sesungguhnya Muhammad lahir.[11]
Ia diutus bukan semata-mata untuk amar ma’rūf nahi munkar, atau
mengajak akan syariat saja, tetapi juga untuk melepaskan beban
penderitaan dan belenggu-belenggu yang ada di atas mereka yang tertindas
oleh sistem sosial ekonomi jahiliyah.[12] Firman-Nya:
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka (QS al-A’râf/7: 157).
Sejalan dengan hal tersebut, agama harus selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma’rūf, tetapi juga melabrak hal-hal yang munkar (nahy munkar).
Islam sangat menekankan mekanisme kritis terhadap perubahan. Itu
tercermin dalam ajaran tentang keharusan saling mengingatkan dalam
bentuk kritik yang membangun (berwasiat dalam kebenaran), yang sekaligus
juga sesuai dengan fungsi kekhalifahan yang diamanatkan Tuhan kepada
umat manusia di bumi.[13]
Dalam tradisi Islam, nahy munkar berarti mempertanyakan dan
menunjukkan hal-hal yang tidak benar. Ini bahkan merupakan sesuatu yang
sentral. Pengucapan syahadat dimulai pernyataan “negatif”; menafikan
semua dewa yang bukan Tuhan dalam tradisi monoteisme sejati. Setiap
Muslim tidak mungkin sampai ke taraf keimanan sejati sebelum mengalami
pergulatan dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungan sosial sekitar.
Kemampuan membebaskan strukturnya masing-masing sangat diperlukan, agar
mereka dapat berperilaku sesuai dengan dasar-dasar moralitas agama yang
otentik. Sudah tentu bukan sebaliknya—berperilaku dengan hanya menuruti
peranan sosiologisnya atau status yang disandangnya dalam masyarakat.[14]
Agama sanggup menumbuhkan mekanisme kritis dalam dinamika agama itu
sendiri, baik melalui ijtihad sebagai metode intelektual dalam memahami
pesan agama, ataupun secara langsung jika agama diharapkan perannya
untuk menyelesaikan problematik masyarakat yang aktual. Itu berarti
agama harus selalu berani memberikan kriteria moral pada setiap keadaan,
dengan menunjukkan mana keadaan yang diridhai Allah dan mana yang
tidak.
Agama tidak hanya menuntut kepatuhan belaka. Akan tetapi juga
pergulatan untuk mewujudkan tatanan yang lebih bertanggungjawab. Hanya
dengan perspektif inilah kita dapat memahami pesan-pesan suci agama yang
relevan dengan keadilan sosial, persamaan derajat, demokrasi,
egalitarian, dan semacamnya. Dasar semua ini adalah konsep takwa,yang
memulangkan seluruh sumber kebenaran dan harkat kemanusiaan di tangan
Tuhan, bukan berada dalam otoritas manusia.[15]
Ketika diturunkan dalam konteks zamannya, Islam merupakan gerakan
spiritual, moral, budaya, politik, serta sistem ekonomi alternatif
terhadap sistem dan budaya Arab yang waktu itu tengah mengalami
pembusukan dan proses dehumanisasi. Selain itu Islam juga lahir sebagai
jalan pembebasan dan kemanusiaan dari dua kekuatan global zamannya,
yakni kekuatan Romawi di Barat dan Bizantium di Timur. Namun, semangat
alternatif Islam tidak bertahan lama, seperti ditunjukkan dalam
perjalanan sejarah. Ia mengalami pasang-surut sampai akhirnya sulit
memertahankan wataknya sebagai gerakan alternatif. Umat Islam dewasa ini
memerlukan perenungan kembali atas ajaran moral, teologi, doktrin
sosial, politik, dan ekonomi yang dulu pernah menjadi jawaban dan
alternatif terhadap persolaan dehumanisasi di zamannya.[16]
Menurut Fahmi Howeidi, pemahaman keagamaan sebagian besar umat Islam
dewasa ini hanya berorientasi pada fikih. Pemahaman semacam ini, menurut
Fahmi, merupakan al-fahm al-manqûsh (pemahaman yang tereduksi) terhadap agama. Sikap serta perilaku keberagamaan yang hanya tertuju pada fikih tersebut merupakan al-tadayyun al-manqûsh
(keberagamaan yang tereduksi). Pemahaman yang tereduksi terhadap agama
merupakan hasil logis dari pendidikan Islam yang bopeng. Sejak dini
ladang nalar kita telah ditanami benih-benih pemahaman yang akhirat oriented atau menarik-diri dari gelanggang dunia demi akhirat.[17]
Dinding pemisah antara agama dan dunia berdiri tegak, baik di ranah
akal-nalar maupun pada wilayah wacana Islam secara umum. Terkikisnya
peradaban Islam dalam ranah nalar menyebabkan terkikisnya peran agama
dalam kehidupan amaliah. Maka banyak aspek sosial dari kehidupan kita
tidak lagi menjadi perhatian agama. Agama menjadi sangat kerdil dan
hanya menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah, atau hanya
menjadi pengisi salah satu acara televisi. Kebanyakan guru agama hanya
fasih bicara soal-soal akidah dan ibadah dalam pengertian tata cara yang
mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya. Sedang hubungan hamba dengan
sesama dan masyarakatnya luput dari agenda kerja mereka.
Penguasaan materi akidah dan ibadah penting dengan tiga
syarat:Dipahami dengan benar, diajarkan kepada orang-orang dengan tujuan
menjadikan kualitas hidup mereka lebih baik, dan tidak mengorbankan
atau mengabaikan aspek muamalat. Keterfokusan pada aspek akidah dan
ibadah mempersempit wilayah interaksi dengan urusan-urusan dunia.
Pengertian mungkar, dosa dan maksiat kemudian terbatas hanya pada
wilayah akidah dan ibadah. Maka ketika hak-hak dasar manusia dilanggar,
tatkala harta kaum papa dirampok, saat masyarakat diliputi budaya malas,
topang-dagu dan konsumtif, tidak terdengar suara lantang bahwa itu
semua merupakan kemungkaran, dosa dan kemaksiatan.[18]
Hingga di sini satu pertanyaan patut diajukan, “Apakah garis pembatas
antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia itu benar-benar ada, atau
hanya bikinan kita belaka?” Beberapa poin berikut dapat menjawab
pertanyaan tersebut: Pertama, dalam lebih dari 200 ayat al-Qur’an
tidak menyebut langit kecuali dikaitkan langsung dengan bumi. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa langit (simbol akhirat dan hak-hak Allah) dan
bumi (lambang dunia dan hak-hak hamba) merupakan dua sisi untuk satu
hakikat yang sama, bukan dua dunia yang terpisah dan tak saling
berhubungan. Kedua, tauhid mencakup ajaran dan perbuatan; iman
selalu bergandengan dengan amal saleh. Amal merupakan implementasi iman.
Iman tidak hanya mengarah ke langit. Ia adalah jalan yang memiliki dua
arah; menjulang ke langit tapi buahnya harus nampak di bumi. Bahkan
bersentuhannya iman dengan bumi merupakan syarat bagi sampainya ia ke
langit, dan syarat bagi kesempurnaan iman itu sendiri. Kata Nabi Saw.,
“Bukanlah iman dengan angan-angan, tetapi apa yang terpateri dalam hati
dan dibuktikan dengan amal-perbuatan.”
Ketiga, sikap Islam tentang hubungan dunia dan akhirat
merupakan sikap yang mendorong kaum Muslim untuk selalu memadukan
keduanya, tidak berpihak kepada salah satunya dengan mengorbankan yang
lain.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari dunia (QS al-Qashash/28: 77).
Dalam sebuah hadits dikatakan, “Yang terbaik dari kalian bukan yang
meninggalkan dunia demi akhirat, bukan pula yang menginggalkan akhirat
untuk dunia. Tetapi yang terbaik dari kalian adalah yang mengambil dari
ini (dunia) dan ini (akhirat)” (HR Ibn ‘Asâkir dan al-Dailamî).
Keempat, dalam pandangan al-Qur’an manusia adalah makhluk
bumi. Akan tetapi, berdasarkan penciptaan dan tugasnya, ia terhubung
dengan langit. Sementara dalam jiwanya terdapat tiupan ruh Tuhan dan
secercah cahaya-Nya, pada saat yang sama ia adalah khalifah-Nya di bumi.
Kelima, tercapainya kemaslahatan hamba merupakan tujuan syariat.
Ada atau tidak adanya syariat tergantung pada ada atau tidak adanya
kemaslahatan hamba.[19]
Dari lima kenyataan ini kita dapat menjawab pertanyaan di atas.
Sesungguhnya tidak ada garis pembatas antara hak-hak hamba dan hak-hak
Allah. Maka ketika al-Qur’an menyebut harta Allah (QS al-Nûr/24: 33) misalnya, itu tak lain berarti harta milik umum. Atau ketika menyatakan hukum hanya milik Allah (QS al-An’âm/6: 57), itu artinya adalah hukum milik rakyat atau kedaulatan rakyat.
Pernyataan al-Qur’an bahwa harta adalah harta Allah merupakan
pernyataan yang amat dalam maknanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa
setiap pelanggaran atas harta dihukumi sebagai tindak kriminal. Ia juga
mengutuk setiap upaya memonopoli harta kaum Muslim. Ketika Mu’awiyah
menghambur-hambur harta dari Bayt al-Mâl dengan dalih bahwa harta itu
milik Allah sedang ia berkuasa untuk membelanjakannya sebab dirinya
khalifah kaum Muslim, sahabat mulia Abu Dzarr al-Ghifarî menentangnya
seraya mengingatkan bahwa harta Allah adalah harta seluruh kaum Muslim.
Siapa pun tidak boleh mempergunakannya kecuali dalam hal yang
mendatangkan kemaslahatan kaum Muslim dan atas persetujuan mereka.[20]
Berikut dialog antara Allah dengan seseorang kelak di hari kiamat.
Dialog mana menggambarkan dan menegaskan betapa hak Allah tidak dapat
dipisahkan dengan hak hamba:
Allah berfirman, “Wahai anak Adam, Aku sakit. Mengapa kamu tidak
menjenguk-Ku?” Anak Adam bertanya, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu
sedang Engkau Tuhan semesta alam?” Allah berfirman, “Tidak tahukah kamu
bahwa hamba-Ku, si Fulan, sakit. Mengapa kamu tidak menjenguknya?” Tidak
tahukah kamu bahwa jika kamu menjenguknya niscaya kamu akan menemukan
(pahala)-Ku padanya?” “Wahai anak Adam, Aku memintamu makan. Mengapa
kamu tidak memberi-Ku makan?” tanya Allah. Anak Adam berkata, “Tuhanku,
bagaimana aku memberi-Mu makan sedang Engkau Tuhan semesta alam?” Allah
berfirman, “Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, si Fulan, memintamu
makan. Mengapa kamu tidak memberinya makan? Tidak tahukah kamu bahwa
jika kamu memberinya makan pasti kamu akan menemukan (pahala)-nya di
sisi-Ku.” Allah bertanya lagi, “Wahai anak Adam, Aku memintamu minum.
Mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?” Anak Adam berkata, “Tuhanku,
bagaimana aku memberi-Mu minum sedang Engkau Tuhan semesta alam?” Allah
berfirman, “Hamba-Ku, Fulan, memintamu minum dan kamu tidak memberinya
minum. Tidak tahukah kamu bahwa jika kamu memberinya minum pasti kamu
akan menemukan (pahala)-nya di sisi-Ku?” (HR. Muslim).
Menjenguk orang sakit, memberi makan orang lapar dan memberi minum
orang haus seperti yang disebutkan hadits di atas hanya sedikit contoh
dari tanggung jawab seorang Muslim terhadap sesamanya. Di luar itu masih
banyak tanggung jawab dan tugas sosial lainnya.
- 2. Taat Ritual Saleh Sosial
Ketaatan ritual yang akan dibahas dalam makalah ini akan diwakili oleh shalat, dengan pertimbangan: Pertama, yang disinggung secara langsung oleh surat al-Mâ’ûn adalah sekelompok orang yang menjalankan shalat (mushallîn). Kedua, shalat merupakan ibadah ritual yang paling kental dan signifikan dalam Islam.
Dalam al-Qur`an, shalat—dalam pengertian terminologis sebagai salah
satu rukun Islam—disebutkan dalam banyak sekali ayat. Dalam surat
al-Baqarah saja, disebut tidak kurang dari sepuluh kali. Dalam QS
al-Baqarah/2: 3 dinyatakan bahwa mendirikan shalat, bersama iman pada
yang gaib dan menafkahkan sebagian rezki,[21]
merupakan ciri orang yang takwa. QS al-Baqarah/2: 45 dan 153
memerintahkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan
mendirikan shalat. Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa mendirikan
shalat sebagai sarana memohon pertolongan kepada Allah itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Dalam QS al-Baqarah/2: 83,
perintah mendirikan shalat disertakan dengan perintah hanya menyembah
Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, mengucapkan kata-kata yang baik kepada
sesama manusia, dan menunaikan zakat.[22]
QS al-Baqarah/2: 177 menyertakan shalat dengan kewajiban beriman
kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, para nabi;
memberi harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin,
musafir yang memerlukan pertolongan dan orang yang meminta-minta;
memerdekakan hamba sahaya, menunaikan zakat, menepati janji, sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Ayat ini memberi
pelajaran bahwa kebajikan sejati terdiri dari dua unsur: tashawwur dan
sulûk. Tashawwur adalah pemahaman yang benar dan penghayatan. Dalam hal
ini, beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi
merupakan cerminan dari tashawwur. Sedangkan sulûk adalah tindak lanjut
dan perilaku berupa kesalehan sosial. Dalam hal ini, memberi harta yang
dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibn
al-sabîl dan seterusnya merupakan perwujudan dari sulûk tersebut. Ayat
ini mengguratkan bahwa kebajikan sejati (birr) adalah terpenuhinya kedua
unsur itu.
QS al-Baqarah/2: 238 menyuruh memelihara shalat dengan khusyuk. Dalam
QS al-Nisâ`/4: 142 dijelaskan bahwa orang munafik jarang melakukan
shalat dan seandainya pun shalat maka shalatnya bercirikan malas dan
riya. Dalam QS Hûd/11: 87 diceritakan bahwa kaum Nabi Syu`ayb yang
membangkang berkata kepada beliau: “Apakah shalatmu yang menyuruh kamu
agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau
melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami?”
Sebagaimana diketahui, Nabi Syu’ayb diutus kepada kaum Madyan. Kepada
mereka Nabi Syu’ayb menyerukan,
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di
tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang
beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi
bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu
Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang berbuat kerusakan (QS al-A’râf/7: 85-86).
Pada ayat di atas terlihat bahwa seruan Nabi Syu’ayb kepada kaumnya
untuk menyempurnakan takaran dan timbangan datang segera setelah
seruannya untuk menyembah Allah. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa
makna ibadah mencakup kejujuran dalam bermuamalah (interaksi sosial).
Tidak terkecuali kejujuran dalam hal takaran dan timbangan (dunia
bisnis). Kejujuran menumbuhkan rasa aman dan nyaman. Keamanan dan
kenyamanan merupakan prasyarat bagi perkembangan dan kemajuan
masyarakat.
Jawaban kaum Nabi Syu’ayb kepada beliau, “Hai Syu`aib, apakah
shalatmu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami
kehendaki tentang harta kami,” ketika beliau menyuruh mereka
menghentikan kebiasaan mempermainkan timbangan menunjukkan adanya
hubungan tak terpisahkan antara ketaatan ritual dengan kesalehan sosial.
Mereka, seperti kata al-Thabarî, hendak mengatakan, “Ini adalah harta
kami. Kami berhak melakukan apa saja yang kami inginkan terhadap harta
ini. Kami bisa mengambil sebagiannya, atau mengolahnya, atau bahkan
membuangnya.” Syu’ayb menolak pola pikir egois mereka. Benar bahwa
harta itu harta milik mereka. Tetapi dari sudut pandang sosial, mereka
tidak memiliki hak untuk mempermainkan timbangan dan takarannya. Sebab
itu merugikan harta milik orang lain. Dalam ungkapan lain, pengakuan
atas kepemilikan pribadi tidak berarti setiap orang mempunyai kebebasan
mutlak. Yang ada adalah kebebasan yang dibatasi oleh kemaslahatan umum.
Di antara kaum Nabi Syu’ayb, orang-orang yang melakukan hal ini,
yakni mempermainkan harta milik pribadi seenaknya sehingga merugikan
orang lain, adalah para pembesar, orang-orang kaya, dan para pejabat
yang tidak punya tujuan hidup selain mengumpul harta dengan cara apa
saja. Mereka tidak pernah segan mengorbankan kepentingan umum demi
kepentingan pribadi. Sementara itu Syu’ayb berjuang mewujudkan
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Inilah sejatinya yang diperjuangkan Syu’ayb ketika ia menyeru mereka:
Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti
dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan
menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok (QS al-A’râf/7: 86).
Dalam konteks sosial, term“jalan Allah” pada ayat ini dapat dimaknai
secara luas. Jalan Allah adalah jalan kebenaran, kejujuran, keadilan,
kerja sama, kasih sayang dan solidaritas.[23]
Seperti biasa, yang menolak ajaran yang diserukan Syu’ayb adalah
mereka yang disebut al-Qur`an sebagai al-malâ`; kaum elite, para
pembesar, kalangan terkemuka, mereka yang punya kuasa dan harta. Mereka
menentang Nabi Syu’ayb bukan hanya karena ia menyerukan menyembah Allah,
tetapi terutama karena ia memerintahkan meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tuntutan iman kepada Allah
seperti mengurangi takaran dan timbangan serta kegiatan ekonomi lainnya
yang merugikan orang lain. Ajaran sosial yang dibawa Syu’ayb mengancam
kepentingan pribadi mereka. Maka berbagai cara mereka gunakan untuk
melawan Syu’ayb dan memberantas ajarannya.
Di lain pihak, kelompok masyarakat yang oleh al-malâ` biasa dijuluki
arâdzil (orang-orang hina dan rendah) antusias menyambut dakwah Syu’ayb.
Dan seperti biasa, guna membendung pengaruh ajaran Syu’ayb, al-malâ` mengancam, menindas dan mengintimidasi para arâdzil:
Pemuka-pemuka dari kaum Syu`aib yang menyombongkan diri berkata:
“Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu`aib dan orang-orang yang
beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami (QS al-A’râf/7: 88).”
Pemuka-pemuka kaum Syu`aib yang kafir berkata, “Sesungguhnya jika
kamu mengikuti Syu`ayb, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi)
orang-orang yang merugi (QS al-A’râf/7: 90).”
Hubungan tak terpisahkan antara shalat sebagai simbol ketaatan ritual
dengan kesalehan sosial juga terlihat jelas dalam QS al-’Ankabût/29:
45:
Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Shalat adalah komunikasi dengan Allah di mana orang yang
berkomunikasi itu merasa malu bertemu dengan-Nya dengan membawa
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Shalat adalah kesucian dan
keterbebasan dari kotor dan jijiknya perbutan keji dan mungkar. Dalam
sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang shalatnya tidak
mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalatnya itu hanya
menambah jauh dari Allah.”
Sementara itu, pada QS al-Jumu’ah/62: 10 dinyatakan bahwa,
Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.
Dalam ayat ini terlihat tawâzun (keseimbangan) yang merupakan
salah satu ciri ajaran Islam. Keseimbangan antara pemenuhan tuntutan
hidup dunia, seperti bekerja, banting tulang, beraktifitas dan kasab,
dengan keharusan mengasingkan ruh, menenangkan dan mensunyikan hati
barang sesaat untuk berzikir. Shalat merupakan kebutuhan mendasar bagi
kehidupan hati. Tanpanya ia tidak akan sanggup memikul beban amanah yang
amat besar. Zikir juga mutlak harus ada dalam usaha mencari pemenuhan
kebutuhan hidup. Merasakan kehadiran-Nya membuat kegiatan pemenuhan
kebutuhan hidup menjadi bernilai ibadah. Namun demikian, perlu adanya
waktu tersendiri untuk melakukan zikir murni, pengasingan dan
penyendirian yang total dari kehidupan dunia.
Sedangkan dari QS al-Mâ’ûn/107: 4-7 dapat ditarik pengertian bahwa
shalat yang dilakukan secara lalai (asal-asalan), karena riya dan tidak
melahirkan kesalehan sosial, pelakunya malah diancam kecelakaan:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan
enggan (menolong dengan) barang berguna.
Surat al-Kawtsar/108: 2 menegaskan apa yang sudah berulang kali
dikatakan bahwa ketaatan ritual harus melahirkan kesalehan sosial. Pada
ayat ini perintah mendirikan shalat disertakan langsung dengan perintah
menyembelih hewan kurban: maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Yang pertama sebagai simbol ketaatan ritual sedang yang kedua merupakan salah satu manifestasi kesalehan sosial.
Lagi-lagi ini menegaskan bahwa ketaatan ritual harus melahirkan
kesalehan sosial. Surat al-Mâ’ûn, betapa pun singkatnya, menolak ibadah
yang formalistik. Surat ini memandang bahwa menolong orang yang
membutuhkan merupakan syarat iman, sama seperti mendirikan shalat dan
menjalankannya dengan khusuk. Ia juga mengancam orang yang enggan
menolong orang yang membutuhkan dengan wayl (kecelakaan). Melalui
surat al-Mâ’ûn, al-Qur`an menamai orang yang tidak memiliki kesalehan
sosial sebagai orang yang mendustakan agama.[24]
- D. Kesimpulan
Islam bukan agama formalistik-ritualistik. Menjadi Muslim yang taat
ritual saja tidak cukup. Ketaatan ritual harus berefek positif terhadap
tindak-perilaku di arena kehidupan sosial; harus mewujud dalam bentuk
kesalehan yang membaikkan dan memajukan kehidupan sesama di wilayah
kehidupan nyata dengan segala dinamika yang diusungnya.
Islam adalah agama yang utuh-menyeluruh. Ajaran-ajarannya satu sama
lain saling terkait, saling berpadu. Ibadah-ibadah formalnya menyatu
dengan tugas-tugas sosialnya. Ketaatan-ketaatan individualnya harus
terefleksi dalam kesalehan-kesalehan komunalnya. Yang ritual-formal,
yang komunal-sosial, yang vertikal-langit, yang horisontal-bumi,
semuanya bermuara pada satu tujuan: kebaikan, kesejahteraan serta
kemajuan manusia seutuhnya dan seluruhnya.
Surat al-Mâ’ûn memberi pelajaran penting: ukuran keimanan dan
keislaman seseorang bukan ucapan, bukan pengakuan lisan, bukan semata
ketaatan ritual, melainkan kesalehan sosial. Dalam banyak hadits, Nabi
Saw. menegaskan hal itu.
Bilbliografi
‘Awdhallâh, ‘Abbâs, Muhâdharât fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 2007.
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta; Pustaka Firdaus, cet. III, 1997.
Abû Khalîl, Syawqî, Athlas as-Sîrah an-Nabawiyah, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. IV, 2006.
Amstrong, Karen, Muhammad, A Biography of the Prophet (terj. Sirikit Syah, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis), Surabaya: Risalah Gusti, cet. XVI, 2005.
Fakih, Mansour, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST Press, cet. I, 2003.
Al-Ghazâli, Muhammad, Nahw Tafsîr Mawdhû’î lî Suwar al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. VIII, 2005.
Hanafi, Hassan, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr, Kairo: Maktabah Madbûlî, tt.
Haque, Ziaul, Revelation & Revolution in Islam (terj. E. Setiyawati al Khattab, Wahyu dan Revolusi), Yogyakarta: LKíS, cet. I, 2000.
Huwaidî, Fahmî, al-Tadayyun al-Manqûsh, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. I 1994.
Al-Khâlidî, Shalâh ‘Abd al-Fattâh, al-Tafsîr al-Mawdhû’î bayn al-Nazhriyah wa al-Tathbîq, Yordania: Dâr al-Nafâ`is, cet. I, 1997.
Mas’udi, Masdar Farid, Pajak Itu Zakat, Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: Mizan, cet. I (Edisi Baru), 2010.
Al-Qaradhâwî, Yûsuf, al-‘Ibâdah fî al-Islâm, Kairo: Maktabah Wahbah, cet. XXIV, 1995.
Quthb, Sayyid, Al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fî al-Islâm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. VII, 1980.
__________, Fî Zhilâl Al-Qur`an, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XVI, 1990.
Rais, M. Amien, Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, cet. III, 1998.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kampus, Mizan: Bandung, cet. XI, 2003.
Al-Risywânî, Sâmir ‘Abdurrahmân, Manhaj al-Tafsîr al-Mwdhû’î lî al-Qur`ân al-Karîm, Fak. Dâr al-Ulûm, Univ. Kairo, 2003.
Al-Shallâbî, ‘Ali Muhammad, as-Sîrah an-Nabawiyah: ‘Ardh Waqâ`i’ wa Tahlîl Ahdâts, Kairo: Mu`assasah Iqra`, cet. I, 2005.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet. XII, 1996.
__________, Tafsîr al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet. II (Edisi Baru), 2009.
Sulthân, Shalâh, Lî al-’Ibâdah Atsar fî al-Fard Rûhiyan wa Akhlâqiyan wa ’Aqliyan wa Badaniyan, Ohio: al-Markaz al-Amrîkî lî al-Abhâts al-Islâmiyah, cet. II, 2005.
Supriyadi,Eko, Sosialisme Islam, Pemikiran ‘Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2003.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1407 H.
Tjokroaminoto,H.O.S., Islam dan Sosialisme, Jakarta: TriDe, cet. I, 2003.
Al-Wâhidî, ‘Ali bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, tt.
[1]
Metode tematik mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya: (1)
menyuguhkan al-Qur`an dengan suguhan ilmiah dan metodik kepada manusia
modern, menampakkan keagungannya, serta menunjukkan keutamaan konsep dan
solusi yang ditawarkannya; (2) menunjukkan bahwa al-Qur`an mampu
mengikuti dinamika realitas kekinian serta sanggup memainkan peran
keilmuan secara dinamis; (3) sejalan dengan tujuan-tujuan umum al-Qur`an
dan merealisasikan tujuan-tujuan tersebut dalam kehidupan umat Muslim
(Shalâh ‘Abd al-Fattâh Al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Mawdhû’î bayn al-Nazhriyah wa al-Tathbîq,
Yordania: Dâr al-Nafâ`is, cet. I, 1997, hal. 49); (4) lebih mampu
merespon apa yang menjadi problem yang dihadapi kaum Muslim dan berusaha
mencari jawabannya dalam al-Qur`an; (5) lebih mampu memberikan gambaran
utuh dan formula solusi yang ditawarkan al-Qur`an mengenai satu
persoalan yang dihadapi oleh umat yang kemudian diangkat oleh seorang
mufassir; (6) lebih menekankan pada makna dan maksud daripada kajian
huruf perhuruf atau kata perkata (kajian kebahasaan) dari ayat al-Qur`an
seperti yang terjadi dalam metode tahlîlî bercorak lughawî (Hassan Hanafi, “Manâhij al-Tafsîr fî Turâtsinâ al-Qadîm” dalam al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr,
Kairo: Maktabah Madbûlî, tt., hal. 79-112); dan (7) menjadikan kajian
tentang tema yang diangkat lebih mendalam, komprehensif, kaya, menyentuh
inti persoalan, dan memberi langkah-langkah yang jelas. Semua ini sulit
didapatkan dalam tiga metode tafsir sebelumnya, yakni tahlîlî, muqâran, dan ijmalî (‘Abbâs ‘Awdhallâh, Muhâdharât fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 2007, hal. 32. Lihat juga Sâmir ‘Abdurrahmân Risywânî, Manhaj al-Tafsîr al-Mwdhû’î lî al-Qur`ân al-Karîm, Fak. Dâr al-Ulûm, Univ. Kairo, 2003, hal. 48-51).
[2] Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet. XII, 1996, hal. 87. Salah satu contoh tafsir mawdhu’î pola ini adalah Nahw Tafsîr Mawdhû’î lî Suwar al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. VIII, 2005, karya Muhammad al-Ghazâlî. Karya ini merupakan tafsir mawdhû’î surat-surat al-Qur`an lengkap, mulai al-Fâtihah hingga al-Nâs.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet. II (Edisi Baru), 2009, hal. 641.
[5] Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl Al-Qur`an, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XVI, 1990, jilid VI, hal. 3984.
[6] Quthb, Fî Zhilâl…, jilid VI, hal. 3984-3985.
[7] Quthb, Fî Zhilâl…, jilid VI, hal. 3985.
[8] Muhammad al-Ghazâli, Nahw Tafsîr Mawdhû’î lî Suwar al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. VIII, 2005, hal. 543.
[10] ‘Ali Muhammad al-Shallâbî, as-Sîrah an-Nabawiyah: ‘Ardh Waqâ`i’ wa Tahlîl Ahdâts, Kairo: Mu`assasah Iqra`, cet. I, 2005, vol. 1, hal. 22-23. Lihat juga Syawqî Abû Khalîl, Athlas as-Sîrah an-Nabawiyah, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. IV, 2006, hal. 34.
[11] Karen Amstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet (terj. Sirikit Syah, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis), Surabaya: Risalah Gusti, cet. XVI, 2005, hal. 73-74.
[12] Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kampus, Mizan: Bandung, cet. XI, 2003, hal. 75.
[13] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta; Pustaka Firdaus, cet. III, 1997, hal. 9-10.
[14] Moeslim, Islam Transformatif…, hal. 10-11. Baca juga Hassan Hanafi, al-Dîn wal al-Tsawrah fî Mishr (1952-1981), Kairo: Maktabah Madbûlî, tt. vol. 2, hal. 215-216 dan Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, cet. XI, 2003, hal. 108-111.
[15] Moeslim, Islam Transformatif…, hal. 12-13.
[16] Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST Press, cet. I, 2003, hal. 242-243. Lihat juga Ziaul Haque, Revelation & Revolution in Islam (terj. E. Setiyawati al Khattab, Wahyu dan Revolusi), Yogyakarta: LKíS, cet. I, 2000, hal. 33-34.
[17] Fahmî Huwaidî, al-Tadayyun al-Manqûsh, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. I 1994, hal. 11.
[18] Fahmî, al-Tadayyun…, hal. 15.
[19] Fahmî, al-Tadayyun…,hal. 124-125.
[20] Lebih lengkap kisah Mu’awiyah vs Abu Dzar ini dapat dibaca antara lain dalam Muhammad bin Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1407 H, jilid 2, hal. 615.
[21]
Disertakannya shalat dengan menafkahkan sebagian rezeki juga dapat
dilihat antara lain dalam QS. al-Anfâl/8: 3; al-Ra’d/13: 22, Ibrâhîm/14:
31; al-Hajj/22: 35; Fâthir/35: 29; al-Syûrâ/42: 38.
[22]
Disertakannya shalat dengan zakat dapat pula dilihat antara lain dalam
QS. al-Baqarah/2: 43, 83, 110, 277; al-Nisâ`/4: 77, 162; al-Mâ`idah/5:
12, 55; al-Tawbah/9: 5, 11, 18, 71; Maryam/19: 31, 55; al-Anbiyâ`/21:
73; al-Hajj/22: 41, 78; al-Mu`minûn/23: 2-4; al-Nûr/24: 37, 56; al-Naml/27: 3; Luqmân/31: 4, al-Ahzâb/33: 33; al-Mujâdilah/58: 13; al-Muzammil/73: 20; al-Bayyinah/98: 5.
[23] Lebih jauh tentang tema-tema sosial ini dapat dibaca antara lain, Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pemikiran ‘Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2003; H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Jakarta: TriDe, cet. I, 2003; M. Amien Rais, Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, cet. III, 1998, dan Sayyid Quthb, Al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fî al-Islâm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. VII, 1980.
[24]
Lebih gamblang tentang hubungan tak terpisahkan antara ibadah-ibadah
ritual dengan kesalehan sosial dapat dibaca, di antaranya, Yûsuf
al-Qaradhâwî, al-‘Ibâdah fî al-Islâm, Kairo: Maktabah Wahbah, cet. XXIV, 1995; Masdar Farid Mas’udi, Pajak Itu Zakat, Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: Mizan, cet. I (Edisi Baru), 2010, dan Shalâh Sulthân, Lî al-’Ibâdah Atsar fî al-Fard Rûhiyan wa Akhlâqiyan wa ’Aqliyan wa Badaniyan, Ohio: al-Markaz al-Amrîkî lî al-Abhâts al-Islâmiyah, cet. II, 2005.
Komentar
Posting Komentar