Kita Dan Soeharto Oleh Ust.Hilmi Amirudin
oleh: Ust Hilmi Aminuddin
Beberapa pekan terakhir ini media digonjang-ganjingkan oleh komunikasi politik kita, mereka dikejutkan dengan iklan yang kita tayangkan yang menampilkan seorang tokoh bangsa yang dianggap kontroversial untuk ditampilkan sejajar dengan tokoh bangsa lainnya. Sebut saja, tokoh kontroversial itu adalah Jendral Suharto, Presiden RI kedua. Iklan ini juga menuai kontroversi yang cukup tajam di internal kita. Bahkan beberapa isu tak sedap sempat beredar, diantaranya dugaan beberapa ikhwah bahwa qiyadah kita menerima dana dari keluarga cendana.
Disini saya tak akan membahas tentang isu atau rumor yang berkembang terkait pemunculan iklan itu, saya ingin lebih fokus membahas tentang bagaimana seharusnya saya, atau ikhwan dan akhwat memahami sebuah komunikasi politik yang dilakukan oleh partai kita. Ok, kita mulai. Bismillahirrahmanirrahiim.
Iklan yang menghebohkan itu hanya berdurasi 15 detik dan ditayangkan selama 3 (tiga) hari melalui media televisi lokal. Menampilkan flash back para tokoh bangsa yang merepresentasikan perjuangan mereka di berbagai bidang dan bentuk. Ada KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, lalu Bung Tomo, kemudian Panglima Besar Jendral Sudirman, Sukarno, Bung Hatta, DR. Muhammad Natsir, dan Jendral Suharto. Iklan itu ditutup dengan menyebut semua tokoh yang ditampilkan sebagai Pahlawan dan Guru Bangsa.
Dari berbagai komentar, diskusi, pendapat, tanggapan, atau reaksi yang muncul dari berbagai kalangan dan juga internal kita terkait iklan itu, saya mendapatkan gambaran bahwa yang dianggap 'cukup berat' dari tayangan iklan itu adalah karena iklan itu menampilkan Jendral Suharto yang disejajarkan dengan para tokoh lainnya dan menyebut sosok Suharto sebagai Pahlawan dan Guru Bangsa. Ada juga tanggapan lain yang tak kalah keras dari kalangan-kalangan yang merasa 'memiliki' tokoh-tokoh yang ditampilkan tersebut. Mereka merasa keberatan tokoh yang merupakan symbol komunitas mereka dijadikan iklan kita.
Terhadap berbagai komentar, diskusi, pendapat, tanggapan, atau reaksi yang muncul itu menurut saya seharusnya tidak menjadi persoalan buat kita, karena sebagai kader dakwah kita tentu memahami bahwa setiap komentar, pendapat, atau persepsi, atau reaksi yang muncul terkait iklan tersebut dari setiap orang adalah hak asasi setiap orang dan harus dihargai.
Sekarang, sebagai kader dakwah, dengan berbekal tarbiyah yang sudah kita jalani bertahun-tahun, semenjak kita berada di mihwar tanzhimi hingga sekarang di mihwar mu’assasi, setidaknya kita dapat memaknai semua hal diatas dengan menggunakan berbagai pendekatan.
1. Pertama: Pendekatan Dakwah
Kita adalah Partai Dakwah, dan kita punya slogan "Nahnu Du'at Qabla Kulli Syai'in". Diantara esensi dakwah adalah menebar hidayah kepada setiap manusia dan mengajak mereka ke jalan Allah. Intinya, untuk menebar hidayah dan mengajak manusia ke jalan Allah itu kita perlu membangun komunikasi dengan seluruh manusia, untuk menyampaikan dakwah kita, agar mereka memahami apa yang kita perjuangkan. Dalam pandangan kita, setiap orang berhak menerima dakwah, setiap orang berhak menerima hidayah, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun bangsanya, apapun ideologinya, tua, muda, besar, kecil, kaafatan linnaas.. Siapapun yang kita temui adalah obyek dakwah, termasuk Suharto dan keluarganya.
Ada satu hal penting lagi yang patut kita renungkan, bahwa dengan siapapun, apakah dengan Suharto, dengan Sukarno, atau dengan siapapun, kita memiliki alaqoh (hubungan) yang tidak terputus, yaitu hubungan sebagai sesama muslim. Ya, karena kita bukan kaum takfiriyyin yang mudah mengkafirkan orang lain secara serampangan. Dan sebagai sesama muslim, tentu ada huquq baina muslimin (hak dan kewajiban terhadap sesama muslim) antara kita dengan siapapun sesama muslim yang harus kita penuhi sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya.
2. Kedua: Pendekatan Sejarah
Bahwa membangun sebuah Negara bukanlah persoalan kecil. Ia bukanlah sekadar membangun hal-hal yang bersifat fisik seperti membangun gedung, jembatan, atau membangun teknologi maju. Membangun Negara adalah membangun sebuah peradaban. Lebih jelas lagi, kita ingin membangun sebuah peradaban yang besar dan langgeng. Membangun sebuah peradaban besar dan langgeng tidak bisa selesai dilakukan oleh satu generasi. Ia harus merupakan mata rantai estafeta kerja antar generasi.
Mempelajari sejarah Indonesia, setiap pergantian antar pemerintahan selalu terjadi dalam bentuk tesis dan anti tesis. Bentuk ini terjadi sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang. Setiap rezim pemerintahan di akhir masa kekuasaannya selalu dihabisi oleh rezim yang menggantikannya. Tindakan cut off seperti ini memiliki ekses opini bahwa rezim yang berkuasa tidak memiliki kebaikan sama sekali karena itu pantas dihabisi, jasadiyan, ruhiyan, wa fikriyan, tak bersisa.
Akibatnya adalah, setiap kali rezim yang baru memulai pemerintahannya, ia harus memulai dari nol. Nah, jika bentuk tesis dan anti tesis seperti ini dipertahankan terus, kapan kita bisa menyelesaikan proyek membangun peradaban itu? Jika antar generasi saling mengutuk dan saling dendam, kapan kita bisa membangun negeri ini dengan benar? Karena itulah kita memilih bentuk lain dalam mensikapi sejarah panjang bangsa kita. Tidak lagi dalam bentuk tesis dan anti tesis, tetapi kita melakukan sintesa, yaitu mengambil dan mengkombinasikan seluruh elemen positif dari rangkaian panjang sejarah perjuangan nasional sebagai bangsa.
Artinya, kita menerima dengan bijak seluruh mata rantai sejarah perjuangan bangsa kita, mengambil, memanfaatkan, dan melanjutkan kebaikan-kebaikan yang ada di tiap generasi, memperbaiki kekurangannya, dan meninggalkan keburukannya. Bahwa generasi sebelumnya pernah melakukan kesalahan dan patut dihukum, kita juga tak akan menghalangi proses hukumnya. Tetapi kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai yang relevan untuk dilanjutkan, akan kita lanjutkan dan kembangkan.
Singkatnya, apa yang baik-baik dari generasi terdahulu kita ambil, yang jelek-jelek kita buang. Dengan memilih bentuk sintesa ini, dimana rekonsiliasi menjadi kata kuncinya, kita tak perlu lagi mulai dari nol untuk membangun peradaban, sehingga kerja-kerja membangun peradaban bisa lebih efektif dan efisien.
3. Ketiga: Pendekatan Politik
a. Untuk menghadapi perjuangan besar 2009, kita perlu memetakan kekuatan kompetitor kita, termasuk kompetitor yang 'potensial' menghambat atau bahkan 'memukul' kita. Kita menggunakan kata 'potensial' disini, bukan berarti bahwa sudah ada agenda memukul atau menghambat dari mereka. Ini penting, karena kita ingin memasuki ruang besar yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, kekuatan kekuatan yang kita petakan akan berpotensi menghambat itu perlu kita lunakkan, atau paling tidak kita lemahkan daya benturnya terhadap kita. Kenapa? Karena kita obyektif melihat political real power kita. Memang kita memiliki nilai intrinsik nama besar PKS yang solid, bersih, peduli, dan professional. Alhamdulillah, semua itu berkat rahmat Allah dan kerja-kerja kita semua.
Tetapi harus sama-sama kita sadari bahwa political real power kita hanya 8,35%. Meminjam perumpaan dari MA, dengan political real power kita yang hanya 8,35% itu, dan penampilan kita yang simpatik, kita bagaikan seekor kucing, yang berbulu indah, bermata bulat, lucu dan menggemaskan. Artinya, meski orang-orang diluar kita menyebut kita solid, bagus, besar, kita tetap tidak boleh tertipu, karena political real power kita hanya 8,35%. Maka, seekor kucing ketika menyadari adanya potensi ancaman, tidak perlu mengaum seperti singa. Jika kita mengaum seperti singa karena tertipu oleh nilai intrinsik kita, maka sangat mungkin kekuatan ancaman itu akan menghadapi kita seperti menghadapi seekor singa, bukan lagi menghadapi seekor kucing. Ini tentu membahayakan kita. Kekuatan kita yang baru sebesar kucing, tak akan mampu bertahan menghadapi serangan lawan yang menghadapi kita dengan mengerahkan kekuatan sebagaimana mereka menghadapi singa.
b. Menampilkan sosok Jendral Suharto dalam iklan kita, bisa dipahami sebagai upaya sang kucing manis melunakkan kekuatan-kekuatan yang potensial akan menghambat di 2009. Bagaimanapun, Jendral Suharto adalah 'kebanggaan' TNI, karena ia merupakan salah satu dari 3 (tiga) Jendral yang mendapat anugerah bintang lima dari TNI selain Jendral Sudirman dan Jendral AH Nasution. Disamping itu, Suharto juga salah satu tokoh yang paling disegani oleh masyarakat dengan kultur Jawa yang kental, yang jumlahnya hampir sekitar 70 (tujuh puluh juta) jiwa di negeri ini, selain ia juga salah satu tokoh pendiri yang paling dihormati dari partai besar yang menguasai negeri ini selama 32 tahun.
c. Terkait penyebutan gelar-gelar kepada Jendral Suharto sebagai Pahlawan atau Guru Bangsa, menurut saya bukan persoalan dan tak sampai menodai aqidah kita, karena sejak dulu kita tidak pernah mensakralkan gelar-gelar itu ataupun gelar lainnya. Kita memahami bahwa hanya Rasulullah saw lah yang ma'shum, selain beliau pasti ada salah dan kurangnya, apakah ia pahlawan, atau guru bangsa, atau pahlawan reformasi, atau tokoh, atau presiden, atau diri kita sendiri.
d. Terakhir, dan ini yang terpenting, kita tidak pernah kehilangan pandangan obyektif terhadap siapapun. Jika ada kebaikan kita akui, kita hargai, kita manfaatkan dan kita lanjutkan, jika ada keburukan dan mesti dihukum, kita dukung bahkan kita menjadi pelopor prosesnya. Jadi, dalam hal ini tidak ada istilah keyakinan kita terbeli. Itulah sebabnya kita tetap menjalankan agenda reformasi 1998 yang salah satu agenda utamanya adalah menurunkan Suharto. Padahal saat itu banyak lembaga-lembaga Islam yang meyayangkan Suharto jatuh, bahkan menuduh tindakan menjatuhkan Suharto sebagai konspirasi Amerika, karena kurun waktu itu (1988-1997) justru Suharto sedang dekat dengan umat Islam.
Unsur-unsur lembaga Islam bahkan membentuk Pamswakarsa, yang dengan gigih membela dan mempertahankan Suharto, dengan jiwa dan raga mereka. Menghadapi berbagai situasi pelik waktu itu, kita tetap meneruskan agenda tersebut. Bahwa banyak kerja-kerja yang bermanfaat bagi umat Islam yang dilakukan Suharto, kita akui dan mudah-mudahan dicatat sebagai amal shalih disisi Allah SWT. Tetapi bahwa ia adalah diktator, kekuasannya mesti dihentikan. Jadi sekali lagi, kita tidak kehilangan obyektifitas dalam memandang siapapun.
4. Keempat: Pendekatan Marketing Communication
a. Iklan yang menghebohkan itu hanya berdurasi 15 detik dan ditayangkan selama 3 (tiga) hari melalui media televisi lokal. Menampilkan flash back para tokoh bangsa yang dimaksudkan untuk merepresentasikan berbagai segmen. Ada KH Ahmad Dahlan yang merepresentasikan segmen Muhammadiyah. Ada KH Hasyim Asyari yang merepresentasikan segmen NU, lalu Bung Tomo yang merepresentasikan segmen TNI pejuang nasionalis, kemudian Panglima Besar Jendral Sudirman yang merepresentasikan segmen pejuang Islamis. Iklan itu juga menampilkan Proklamator dan Presiden RI pertama Sukarno, lalu Bung Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden RI pertama. Lalu ada DR. Muhammad Natsir, tokoh nasional yang berasal dari Sumatra, dan Jendral Suharto, yang merepresentasikan segmen TNI, segmen kalangan masyarakat yang kental dengan kultur Jawa, dan segmen salah satu partai besar yang berkuasa di negeri ini selama 32 tahun.
b. Secara substansial, iklan itu dimunculkan untuk mengkomunikasikan pesan dan cara pandang kita terhadap sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia membangun negerinya. Bahwa perlu ada kesinambungan antar generasi dan konsolidasi nasional untuk membangun negeri yang kita cintai ini. Bahwa untuk membangun negeri ini tidak boleh ada dendam antar generasi dan antar elemen bangsa. Nah, mengkomunikasikan pesan seberat itu dalam bentuk iklan yang dipahami masyarakat berbagai lapisan, tentu bukan persoalan mudah. Saat ini, media televisi dianggap paling efektif menjadi sarana mengkomunikasikan pesan kepada masyarakat. Permasalahannya, beriklan melalui media televisi membutuhkan biaya besar. SBY misalnya dikabarkan telah menyiapkan dana untuk iklan 100 milyar, Probowo saat ini sudah menghabiskan 77 milyar untuk iklannya. Kita? Berapa dana yang kita siapkan untuk iklan?
Kita perlu berpikir, bagaimana dengan dana yang sedikit, tetapi orang 'terkesan' dengan iklan kita. Bagaimana iklan itu menjadi pembicaraan orang. Bagaimana dengan iklan itu orang menjadi tertarik untuk meminta penjelasan kita lebih jauh. Artinya, iklan bagi kita bukanlah tujuan, ia hanya alat, agar kita bisa menjelaskan apa maksud 'dibelakang' iklan kita. Dan inilah yang terjadi. Dua pekan berturut-turut setelah iklan itu muncul di televisi, media massa dan elektronik mencari kita. Kita menjadi 'news' dimana-mana. Nah, akhirnya, tanpa biaya besar, kita bisa menjelaskan cara pandang kita itu kepada masyarakat, bahkan tema sentral iklan kita menjadi topik diskusi yang hangat di media dan masyarakat, selama 2 (dua) pekan berturut-turut.
c. Adapun bahwa iklan itu kemudian memunculkan tanggapan beragam dan menuai kontroversi, pro dan kontra, di internal dan eksternal kita, sudah menjadi resiko dan harus diterima. Karena, kita tak bisa mengendalikan persepsi orang lain. Tetapi dalam perkembangannya, kita lihat sekarang reaksi yang muncul sudah semakin obyektif, paling tidak sudah muncul komentar " Cerdas itu PKS, iklannya cuma tayang sebentar tapi beritanya tidak berhenti-berhenti...".
Menutup pembicaraan, ada satu hal yang lebih penting dari sekadar persoalan memahami iklan Suharto. Pertama, memahami bahwa ada berbagai pola komunikasi yang dikembangkan dalam jama'ah kita. Ada khithab ikhwani, ada khithab islami, ada khithab insani, dan ada khitab wathani. Masing-masing memiliki pola dan uslub sendiri. Khitab ikhwani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama ikhwah. Khitab islami kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama muslim. Khitab insani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, apapun agama dan ideologinya. Sedangkan khithab wathani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan elemen sebangsa dan se-tanah air, dalam upaya menyatukan persamaan dan meminimalisir perbedaan. Semua pola komunikasi itu memiliki tujuan yang sama, yaitu mengkomunikasikan apa yang kita perjuangkan. Nah, dengan mengetahui berbagai pola komunikasi yang dikembangkan dalam jama'ah ini, kita bisa memahami pola komunikasi apa yang digunakan dalam iklan Suharto itu.
Kedua, menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita sudah masuk ke dalam mihwar mu'assasi, yang menjadi muqaddimah bagi mihwar daulah. Sebagai kader, kita mesti mempersiapkan, mendewasakan dan mematangkan diri dengan baik untuk dapat 'survive', eksis, dan kontributif di mihwar ini. Karena, li kulli mihwarin ihtiyajatuha, wa li kulli mihwarin rijaaluha. Oleh karena itu, usrah, halaqah, tatsqif, daurah, dan sarana tarbiyah lainnya harus semakin dikokohkan. Tarbiyah dzatiyah harus menjadi kelaziman. Unsur Arkanul Ba'iah dalam diri kita harus semakin kokoh dan berkembang. Jika tidak, maka kita akan tertinggal, dan akhirnya hanya menjadi target dan sasaran isu-isu negative yang tidak bertanggung jawab... Wallahu'alam.
Jakarta, 4 November 2008
Anis Byarwati
Departemen Kaderisasi DPP PKS
Sumber : Taujih MA pada acara Daurah Idaratu Dakwah DPW Jawa Barat, 22 November 2008.
Beberapa pekan terakhir ini media digonjang-ganjingkan oleh komunikasi politik kita, mereka dikejutkan dengan iklan yang kita tayangkan yang menampilkan seorang tokoh bangsa yang dianggap kontroversial untuk ditampilkan sejajar dengan tokoh bangsa lainnya. Sebut saja, tokoh kontroversial itu adalah Jendral Suharto, Presiden RI kedua. Iklan ini juga menuai kontroversi yang cukup tajam di internal kita. Bahkan beberapa isu tak sedap sempat beredar, diantaranya dugaan beberapa ikhwah bahwa qiyadah kita menerima dana dari keluarga cendana.
Disini saya tak akan membahas tentang isu atau rumor yang berkembang terkait pemunculan iklan itu, saya ingin lebih fokus membahas tentang bagaimana seharusnya saya, atau ikhwan dan akhwat memahami sebuah komunikasi politik yang dilakukan oleh partai kita. Ok, kita mulai. Bismillahirrahmanirrahiim.
Iklan yang menghebohkan itu hanya berdurasi 15 detik dan ditayangkan selama 3 (tiga) hari melalui media televisi lokal. Menampilkan flash back para tokoh bangsa yang merepresentasikan perjuangan mereka di berbagai bidang dan bentuk. Ada KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, lalu Bung Tomo, kemudian Panglima Besar Jendral Sudirman, Sukarno, Bung Hatta, DR. Muhammad Natsir, dan Jendral Suharto. Iklan itu ditutup dengan menyebut semua tokoh yang ditampilkan sebagai Pahlawan dan Guru Bangsa.
Dari berbagai komentar, diskusi, pendapat, tanggapan, atau reaksi yang muncul dari berbagai kalangan dan juga internal kita terkait iklan itu, saya mendapatkan gambaran bahwa yang dianggap 'cukup berat' dari tayangan iklan itu adalah karena iklan itu menampilkan Jendral Suharto yang disejajarkan dengan para tokoh lainnya dan menyebut sosok Suharto sebagai Pahlawan dan Guru Bangsa. Ada juga tanggapan lain yang tak kalah keras dari kalangan-kalangan yang merasa 'memiliki' tokoh-tokoh yang ditampilkan tersebut. Mereka merasa keberatan tokoh yang merupakan symbol komunitas mereka dijadikan iklan kita.
Terhadap berbagai komentar, diskusi, pendapat, tanggapan, atau reaksi yang muncul itu menurut saya seharusnya tidak menjadi persoalan buat kita, karena sebagai kader dakwah kita tentu memahami bahwa setiap komentar, pendapat, atau persepsi, atau reaksi yang muncul terkait iklan tersebut dari setiap orang adalah hak asasi setiap orang dan harus dihargai.
Sekarang, sebagai kader dakwah, dengan berbekal tarbiyah yang sudah kita jalani bertahun-tahun, semenjak kita berada di mihwar tanzhimi hingga sekarang di mihwar mu’assasi, setidaknya kita dapat memaknai semua hal diatas dengan menggunakan berbagai pendekatan.
1. Pertama: Pendekatan Dakwah
Kita adalah Partai Dakwah, dan kita punya slogan "Nahnu Du'at Qabla Kulli Syai'in". Diantara esensi dakwah adalah menebar hidayah kepada setiap manusia dan mengajak mereka ke jalan Allah. Intinya, untuk menebar hidayah dan mengajak manusia ke jalan Allah itu kita perlu membangun komunikasi dengan seluruh manusia, untuk menyampaikan dakwah kita, agar mereka memahami apa yang kita perjuangkan. Dalam pandangan kita, setiap orang berhak menerima dakwah, setiap orang berhak menerima hidayah, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun bangsanya, apapun ideologinya, tua, muda, besar, kecil, kaafatan linnaas.. Siapapun yang kita temui adalah obyek dakwah, termasuk Suharto dan keluarganya.
Ada satu hal penting lagi yang patut kita renungkan, bahwa dengan siapapun, apakah dengan Suharto, dengan Sukarno, atau dengan siapapun, kita memiliki alaqoh (hubungan) yang tidak terputus, yaitu hubungan sebagai sesama muslim. Ya, karena kita bukan kaum takfiriyyin yang mudah mengkafirkan orang lain secara serampangan. Dan sebagai sesama muslim, tentu ada huquq baina muslimin (hak dan kewajiban terhadap sesama muslim) antara kita dengan siapapun sesama muslim yang harus kita penuhi sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya.
2. Kedua: Pendekatan Sejarah
Bahwa membangun sebuah Negara bukanlah persoalan kecil. Ia bukanlah sekadar membangun hal-hal yang bersifat fisik seperti membangun gedung, jembatan, atau membangun teknologi maju. Membangun Negara adalah membangun sebuah peradaban. Lebih jelas lagi, kita ingin membangun sebuah peradaban yang besar dan langgeng. Membangun sebuah peradaban besar dan langgeng tidak bisa selesai dilakukan oleh satu generasi. Ia harus merupakan mata rantai estafeta kerja antar generasi.
Mempelajari sejarah Indonesia, setiap pergantian antar pemerintahan selalu terjadi dalam bentuk tesis dan anti tesis. Bentuk ini terjadi sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang. Setiap rezim pemerintahan di akhir masa kekuasaannya selalu dihabisi oleh rezim yang menggantikannya. Tindakan cut off seperti ini memiliki ekses opini bahwa rezim yang berkuasa tidak memiliki kebaikan sama sekali karena itu pantas dihabisi, jasadiyan, ruhiyan, wa fikriyan, tak bersisa.
Akibatnya adalah, setiap kali rezim yang baru memulai pemerintahannya, ia harus memulai dari nol. Nah, jika bentuk tesis dan anti tesis seperti ini dipertahankan terus, kapan kita bisa menyelesaikan proyek membangun peradaban itu? Jika antar generasi saling mengutuk dan saling dendam, kapan kita bisa membangun negeri ini dengan benar? Karena itulah kita memilih bentuk lain dalam mensikapi sejarah panjang bangsa kita. Tidak lagi dalam bentuk tesis dan anti tesis, tetapi kita melakukan sintesa, yaitu mengambil dan mengkombinasikan seluruh elemen positif dari rangkaian panjang sejarah perjuangan nasional sebagai bangsa.
Artinya, kita menerima dengan bijak seluruh mata rantai sejarah perjuangan bangsa kita, mengambil, memanfaatkan, dan melanjutkan kebaikan-kebaikan yang ada di tiap generasi, memperbaiki kekurangannya, dan meninggalkan keburukannya. Bahwa generasi sebelumnya pernah melakukan kesalahan dan patut dihukum, kita juga tak akan menghalangi proses hukumnya. Tetapi kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai yang relevan untuk dilanjutkan, akan kita lanjutkan dan kembangkan.
Singkatnya, apa yang baik-baik dari generasi terdahulu kita ambil, yang jelek-jelek kita buang. Dengan memilih bentuk sintesa ini, dimana rekonsiliasi menjadi kata kuncinya, kita tak perlu lagi mulai dari nol untuk membangun peradaban, sehingga kerja-kerja membangun peradaban bisa lebih efektif dan efisien.
3. Ketiga: Pendekatan Politik
a. Untuk menghadapi perjuangan besar 2009, kita perlu memetakan kekuatan kompetitor kita, termasuk kompetitor yang 'potensial' menghambat atau bahkan 'memukul' kita. Kita menggunakan kata 'potensial' disini, bukan berarti bahwa sudah ada agenda memukul atau menghambat dari mereka. Ini penting, karena kita ingin memasuki ruang besar yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, kekuatan kekuatan yang kita petakan akan berpotensi menghambat itu perlu kita lunakkan, atau paling tidak kita lemahkan daya benturnya terhadap kita. Kenapa? Karena kita obyektif melihat political real power kita. Memang kita memiliki nilai intrinsik nama besar PKS yang solid, bersih, peduli, dan professional. Alhamdulillah, semua itu berkat rahmat Allah dan kerja-kerja kita semua.
Tetapi harus sama-sama kita sadari bahwa political real power kita hanya 8,35%. Meminjam perumpaan dari MA, dengan political real power kita yang hanya 8,35% itu, dan penampilan kita yang simpatik, kita bagaikan seekor kucing, yang berbulu indah, bermata bulat, lucu dan menggemaskan. Artinya, meski orang-orang diluar kita menyebut kita solid, bagus, besar, kita tetap tidak boleh tertipu, karena political real power kita hanya 8,35%. Maka, seekor kucing ketika menyadari adanya potensi ancaman, tidak perlu mengaum seperti singa. Jika kita mengaum seperti singa karena tertipu oleh nilai intrinsik kita, maka sangat mungkin kekuatan ancaman itu akan menghadapi kita seperti menghadapi seekor singa, bukan lagi menghadapi seekor kucing. Ini tentu membahayakan kita. Kekuatan kita yang baru sebesar kucing, tak akan mampu bertahan menghadapi serangan lawan yang menghadapi kita dengan mengerahkan kekuatan sebagaimana mereka menghadapi singa.
b. Menampilkan sosok Jendral Suharto dalam iklan kita, bisa dipahami sebagai upaya sang kucing manis melunakkan kekuatan-kekuatan yang potensial akan menghambat di 2009. Bagaimanapun, Jendral Suharto adalah 'kebanggaan' TNI, karena ia merupakan salah satu dari 3 (tiga) Jendral yang mendapat anugerah bintang lima dari TNI selain Jendral Sudirman dan Jendral AH Nasution. Disamping itu, Suharto juga salah satu tokoh yang paling disegani oleh masyarakat dengan kultur Jawa yang kental, yang jumlahnya hampir sekitar 70 (tujuh puluh juta) jiwa di negeri ini, selain ia juga salah satu tokoh pendiri yang paling dihormati dari partai besar yang menguasai negeri ini selama 32 tahun.
c. Terkait penyebutan gelar-gelar kepada Jendral Suharto sebagai Pahlawan atau Guru Bangsa, menurut saya bukan persoalan dan tak sampai menodai aqidah kita, karena sejak dulu kita tidak pernah mensakralkan gelar-gelar itu ataupun gelar lainnya. Kita memahami bahwa hanya Rasulullah saw lah yang ma'shum, selain beliau pasti ada salah dan kurangnya, apakah ia pahlawan, atau guru bangsa, atau pahlawan reformasi, atau tokoh, atau presiden, atau diri kita sendiri.
d. Terakhir, dan ini yang terpenting, kita tidak pernah kehilangan pandangan obyektif terhadap siapapun. Jika ada kebaikan kita akui, kita hargai, kita manfaatkan dan kita lanjutkan, jika ada keburukan dan mesti dihukum, kita dukung bahkan kita menjadi pelopor prosesnya. Jadi, dalam hal ini tidak ada istilah keyakinan kita terbeli. Itulah sebabnya kita tetap menjalankan agenda reformasi 1998 yang salah satu agenda utamanya adalah menurunkan Suharto. Padahal saat itu banyak lembaga-lembaga Islam yang meyayangkan Suharto jatuh, bahkan menuduh tindakan menjatuhkan Suharto sebagai konspirasi Amerika, karena kurun waktu itu (1988-1997) justru Suharto sedang dekat dengan umat Islam.
Unsur-unsur lembaga Islam bahkan membentuk Pamswakarsa, yang dengan gigih membela dan mempertahankan Suharto, dengan jiwa dan raga mereka. Menghadapi berbagai situasi pelik waktu itu, kita tetap meneruskan agenda tersebut. Bahwa banyak kerja-kerja yang bermanfaat bagi umat Islam yang dilakukan Suharto, kita akui dan mudah-mudahan dicatat sebagai amal shalih disisi Allah SWT. Tetapi bahwa ia adalah diktator, kekuasannya mesti dihentikan. Jadi sekali lagi, kita tidak kehilangan obyektifitas dalam memandang siapapun.
4. Keempat: Pendekatan Marketing Communication
a. Iklan yang menghebohkan itu hanya berdurasi 15 detik dan ditayangkan selama 3 (tiga) hari melalui media televisi lokal. Menampilkan flash back para tokoh bangsa yang dimaksudkan untuk merepresentasikan berbagai segmen. Ada KH Ahmad Dahlan yang merepresentasikan segmen Muhammadiyah. Ada KH Hasyim Asyari yang merepresentasikan segmen NU, lalu Bung Tomo yang merepresentasikan segmen TNI pejuang nasionalis, kemudian Panglima Besar Jendral Sudirman yang merepresentasikan segmen pejuang Islamis. Iklan itu juga menampilkan Proklamator dan Presiden RI pertama Sukarno, lalu Bung Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden RI pertama. Lalu ada DR. Muhammad Natsir, tokoh nasional yang berasal dari Sumatra, dan Jendral Suharto, yang merepresentasikan segmen TNI, segmen kalangan masyarakat yang kental dengan kultur Jawa, dan segmen salah satu partai besar yang berkuasa di negeri ini selama 32 tahun.
b. Secara substansial, iklan itu dimunculkan untuk mengkomunikasikan pesan dan cara pandang kita terhadap sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia membangun negerinya. Bahwa perlu ada kesinambungan antar generasi dan konsolidasi nasional untuk membangun negeri yang kita cintai ini. Bahwa untuk membangun negeri ini tidak boleh ada dendam antar generasi dan antar elemen bangsa. Nah, mengkomunikasikan pesan seberat itu dalam bentuk iklan yang dipahami masyarakat berbagai lapisan, tentu bukan persoalan mudah. Saat ini, media televisi dianggap paling efektif menjadi sarana mengkomunikasikan pesan kepada masyarakat. Permasalahannya, beriklan melalui media televisi membutuhkan biaya besar. SBY misalnya dikabarkan telah menyiapkan dana untuk iklan 100 milyar, Probowo saat ini sudah menghabiskan 77 milyar untuk iklannya. Kita? Berapa dana yang kita siapkan untuk iklan?
Kita perlu berpikir, bagaimana dengan dana yang sedikit, tetapi orang 'terkesan' dengan iklan kita. Bagaimana iklan itu menjadi pembicaraan orang. Bagaimana dengan iklan itu orang menjadi tertarik untuk meminta penjelasan kita lebih jauh. Artinya, iklan bagi kita bukanlah tujuan, ia hanya alat, agar kita bisa menjelaskan apa maksud 'dibelakang' iklan kita. Dan inilah yang terjadi. Dua pekan berturut-turut setelah iklan itu muncul di televisi, media massa dan elektronik mencari kita. Kita menjadi 'news' dimana-mana. Nah, akhirnya, tanpa biaya besar, kita bisa menjelaskan cara pandang kita itu kepada masyarakat, bahkan tema sentral iklan kita menjadi topik diskusi yang hangat di media dan masyarakat, selama 2 (dua) pekan berturut-turut.
c. Adapun bahwa iklan itu kemudian memunculkan tanggapan beragam dan menuai kontroversi, pro dan kontra, di internal dan eksternal kita, sudah menjadi resiko dan harus diterima. Karena, kita tak bisa mengendalikan persepsi orang lain. Tetapi dalam perkembangannya, kita lihat sekarang reaksi yang muncul sudah semakin obyektif, paling tidak sudah muncul komentar " Cerdas itu PKS, iklannya cuma tayang sebentar tapi beritanya tidak berhenti-berhenti...".
Menutup pembicaraan, ada satu hal yang lebih penting dari sekadar persoalan memahami iklan Suharto. Pertama, memahami bahwa ada berbagai pola komunikasi yang dikembangkan dalam jama'ah kita. Ada khithab ikhwani, ada khithab islami, ada khithab insani, dan ada khitab wathani. Masing-masing memiliki pola dan uslub sendiri. Khitab ikhwani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama ikhwah. Khitab islami kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama muslim. Khitab insani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, apapun agama dan ideologinya. Sedangkan khithab wathani kita gunakan untuk berkomunikasi dengan elemen sebangsa dan se-tanah air, dalam upaya menyatukan persamaan dan meminimalisir perbedaan. Semua pola komunikasi itu memiliki tujuan yang sama, yaitu mengkomunikasikan apa yang kita perjuangkan. Nah, dengan mengetahui berbagai pola komunikasi yang dikembangkan dalam jama'ah ini, kita bisa memahami pola komunikasi apa yang digunakan dalam iklan Suharto itu.
Kedua, menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita sudah masuk ke dalam mihwar mu'assasi, yang menjadi muqaddimah bagi mihwar daulah. Sebagai kader, kita mesti mempersiapkan, mendewasakan dan mematangkan diri dengan baik untuk dapat 'survive', eksis, dan kontributif di mihwar ini. Karena, li kulli mihwarin ihtiyajatuha, wa li kulli mihwarin rijaaluha. Oleh karena itu, usrah, halaqah, tatsqif, daurah, dan sarana tarbiyah lainnya harus semakin dikokohkan. Tarbiyah dzatiyah harus menjadi kelaziman. Unsur Arkanul Ba'iah dalam diri kita harus semakin kokoh dan berkembang. Jika tidak, maka kita akan tertinggal, dan akhirnya hanya menjadi target dan sasaran isu-isu negative yang tidak bertanggung jawab... Wallahu'alam.
Jakarta, 4 November 2008
Anis Byarwati
Departemen Kaderisasi DPP PKS
Sumber : Taujih MA pada acara Daurah Idaratu Dakwah DPW Jawa Barat, 22 November 2008.
Komentar
Posting Komentar