Kompromi politik oleh Hepi Andi

Kompromi Politik
Image
Makkah terasa begitu sempit bagi Abu Bakar ra



Kekejaman kafir Quraisy benar-benar semakin memuncak. Tak hanya penindasan secara fisik, tapi juga cemoohan dan kata-kata kotor mereka gunakan untuk melemahkan semangat kaum Muslimin.

Melihat kondisi tersebut, Abu Bakar ash-Shiddiq meminta izin kepada Rasulullah saw untuk hijrah. Ia berharap ada tempat lain yang kondusif baginya untuk mengembangkan Islam. Seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya, Rasulullah saw mengizinkan Abu Bakar untuk hijrah. Tokoh kaya yang dikenal sangat dermawan di kalangan Quraisy itu meninggalkan Makkah.

Tiga hari berlalu. Masyarakat Makkah pun merasa kehilangan dengan kepergian Abu Bakar. Dalam Sirah-nya, seperti dikutip dari ungkapan Ibnu Ishaq dari Imam az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, Ibnu Hisyam tak menyebutkan tempat hijrah Abu Bakar.

Namun setelah tiga hari menghilang dari Makkah, Abu Bakar bertemu dengan Ibnu Daghanah. Menurut Ibnu Hisyam, ada yang menyebutnya dengan Ibnu Daghinah. Ia adalah pimpinan al-Ahabisy, sebuah persekutuan beberapa kabilah di Makkah yang sangat disegani kala itu.

"Engkau mau pergi ke mana, wahai Abu Bakar?" tanya Ibnu Daghinah.

"Aku diusir kaumku. Mereka menyakitiku dan mempersempit ruang gerakku,” jawab Abu Bakar. Antara dirinya dan Ibnu Daghinah terjalin hubungan yang baik.

"Engkau telah menghiasi keluarga (dengan kebaikan), menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan, mengerjakan banyak kebaikan dan membantu orang-orang miskin. Kembalilah. Engkau dalam perlindunganku," ujar Ibnu Daghinah.

Abu Bakar pun kembali ke rumahnya dalam keadaan aman tanpa gangguan kafir Quraisy. Ia bisa mengisi hari-harinya dengan aktivitas biasa. Di kalangan Quraisy, Abu Bakar ash-Shiddiq dikenal kaya dan dermawan. Itulah yang menyebabkan dirinya begitu disegani.

Bagi aktivis Islam, sosok Abu Bakar ash-Shiddiq ini patut direnungi. Ternyata, dalam kondisi tertentu, kekayaan juga mempunyai peranan penting bagi dakwah. Bahkan, lima dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, memeluk Islam di tangan Abu Bakar ash-Shiddiq.

Mereka adalah para tokoh yang disegani di kaumnya. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah.

Kelima tokoh itu adalah para saudagar yang memeluk Islam lewat jaringan bisnis Abu Bakar ash-Shiddiq. Untuk 'menjerat' orang-orang yang mempunyai pengaruh, juga dengan pengaruh. Di sinilah kita mendapatkan pelajaran penting. Target dakwah harus menyentuh orang-orang seperti Abu Bakar ash-Shiddiq.

Jika dakwah mampu merekrut tokoh seperti ini, paling tidak akan mendatangkan dua manfaat besar.

Pertama, ia bisa digunakan sebagai sarana merekrut orang-orang kaya dan berpengaruh.

Kedua, ia bisa menjadi benteng dakwah.

Seperti Abu Bakar yang mendapat perlindungan dari kafir Quraisy. Ia dibolehkan mengisi hari-harinya tanpa gangguan. Ia bebas berdagang dan melakukan interaksi dengan siapa pun.

Bahkan, ia diizinkan beribadah oleh kafir Quraisy di rumahnya sendiri. Kesempatan ini benar-benar tak disia-siakan oleh Abu Bakar. Dengan cerdik Abu Bakar memperluas halaman rumahnya. Ia sengaja melakukan ibadah, seperti shalat dan membaca al-Qur'an di pekarangan rumahnya itu.

Suara bacaan al-Qur'an yang indah dan menyentuh, menarik perhatian banyak orang. Mereka berkumpul dan mendengarkan bacaannya. Hanya beberapa hari, para ibu dan anak-anak banyak yang hapal sebagian ayat-ayat al-Qur'an. Mereka membacanya di jalan-jalan dan di pasar. Bahkan tak sedikit dari mereka yang tertarik dan memeluk Islam.

Kisah ini memaparkan bagaimana kita seharusnya memanfaatkan peluang, baik waktu, tempat maupun sistem. Saat ini kita berada dalam sistem demokrasi yang amat bertolak belakang dengan syariat Islam. Sistem demokrasi menganggap kekuasaan tertinggi berada pada rakyat. Padahal kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah.

Namun, ada sisi-sisi sistem demokrasi yang bisa dimanfaatkan (baca: bukan dinikmati). Demokrasi adalah sebuah lingkaran dan syariat Islam adalah lingkaran lain. Terjadi persinggungan antara dua lingkaran itu. Ada irisan yang mempertemukan keduanya. Wilayah irisan itulah yang seharusnya dimanfaatkan. Persis seperti Abu Bakar ash-Shiddiq yang memanfaatkan 'aturan jahiliyah' yang memintanya beribadah hanya di rumahnya.

Namun jangka waktu dalam memanfaatkan wilayah irisan tadi, harus bersifat sementara. Ia harus berjangka. Memang ada sisi demokrasi yang bisa dimanfaatkan. Tapi jangan sampai keenakan lalu lupa dengan agenda dakwah sebenarnya. Bahkan jika dalam proses pemanfaatan itu ada benturan dengan hal yang sangat prinsip dalam Islam, ia harus ditinggalkan.

Persis seperti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika mengetahui banyak yang terpengaruh dengan dakwah Abu Bakar, kafir Quraisy memintanya menghentikan dakwah. Ini masalah idealisme yang tak mungkin ditawar. Perjuangan menyampaikan Islam adalah harga mati yang tak boleh surut meski selangkah. Ini tak berkaitan lagi dengan cara berdakwah, tapi sudah menyentuh wilayah prinsip. Apa yang dilakukan Abu Bakar? Ia menolak dengan tegas permintaan kafir Quraisy!

Saat Ibnu Daghinah menemuinya dan memintanya menghentikan dakwah, Abu Bakar dengan lantang berkata, “Bagaimana kalau aku kembalikan perlindunganmu kepadaku? Aku lebih ridha mendapat perlindungan dari Allah."

Maka, Ibnu Daghinah pun melepaskan perlindungannya. Abu Bakar menerima mesti ia harus mendapatkan masalah lagi. Seperti semula, ia pun mendapatkan perlakuan buruk dari kafir Quraisy. Ibnu Hisyam menggambarkan, ketika Abu Bakar menolak permintaan orang-orang kafir Quraisy itu, mereka melempari kepalanya dengan debu yang kotor. Menghadapi semua itu, Abu Bakar bukannya mengeluh.

Ia hanya berkata, "Ya Tuhan, betapa Pemurahnya Engkau!"

Semoga kita bisa meneladani kecerdikan Abu Bakar sekaligus ketegasannya.

Hepi Andi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Dan Soeharto Oleh Ust.Hilmi Amirudin

Peristiwa Kontemporer Dunia (Perpecahan Uni Sovyet)

LATIHAN SOAL SEJARAH INDONESIA