KONDISI POLITIK PADA MASA ORDE BARU

   

KONDISI POLITIK PADA MASA ORDE BARU

 

DISUSUN OLEH

ABIGAIL HARISTA

BAGAS RIZKI HERTANTO

CRISTINE T. PURBA

FERDINAND DAVID SANTOSO

 

 

 

 

 

SEKOLAH MENENGAH ATAS 25 JAKARTA

Jalan A.M Sangaji No. 22-24 Petojo Utara Gambir RT.2/RW.5 2 5, RT.2/RW.5, Petojo Utara, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10130


ABSTRAK

Di dalam karya tulis ini, akan dibahas tentang bagiaman kondisi perpolitikan di Indonesia, bagaimana cara bekerjanya poltik di Indonesia pada mas Orde Baru, serta akan membahas bagaimana serta apa perubahan yang terjadi pada aspek politik di Indonesia di masa Orde Baru. Dijelaskan juga secara terperinci perisitiwa apa saja yang telah terjadi selama Orde Baru berlangsung di Indonesia. Serta di dalam karya tulis ini akan disajikan isi pembahasan yang mendetail serta informatif.


BAB 1

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Orde Baru. Apasih orde baru itu? Menurut KBBI, kata baru berarti menggambarkan suatu hal yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan orde berarti sistem pemerintahan. Secara terminologi, Orde Baru berarti suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Dari beberapa pendapat tersebut kita simpulkan, bahwa orde baru merupakan sistem pemerintahan di Indonesia yang menggantikan zaman sebelumnya didasarkan atas koreksi terhadap berbagai penyimpangan. Lahirnya Orde Baru diawali dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)[1] oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Surat berisi instruksi presiden agar Letjen. Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, segera saja negara yang masih baru ini mengalami berbagai hal seperti pergolakan politik, kerusuhan-kerusuhan, kesulitan ekonomi, lemahnya pemerintahan, dan agresi dari Belanda. Tekanan internal dan eksternal selama kurang lebih 4 (empat) tahun membuat pemerintah Republik Indonesia dapat dikatakan tidak berdaya untuk membenahi semua aspek kehidupan masyarakat. Sampai kemudian tercapai perundingan KMB di Den Haag, Belanda pada 24 Agustus 1949. Sistem Demokrasi Parlementer yang riuh tersebut sampai-sampai tidak dapat menghasilkan  suatu  UUD  baru  untuk  menggantikan  UUD  Sementara  atau  UUD 1945 yang oleh Bung Karno sendiri disebut UUD kilat atau “revolutie  grondwet”[2]. Dewan  Konstituante  yang  dibentuk  sejak  10  November  1956  belum  juga  berhasil membakukan  UUD  baru. Draf akhir konferensi itu menyatakan bahwa Indonesia harus menanggung beban utang Hindia Belanda sebesar 5,6 milyar gulden, serta menambahkan kata serikat pada namanya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara hasil KMB ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungan pada Kerajaan Belanda, tanggal satu per satu dan akhirnya pada 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan perubahan RIS seraya menyatakan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang menetapkan bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi Parlementer. Stigma negatif demokrasi parlementer menjadikan penguasa rezim Orde Baru berusaha mengendalikan atau dalam bahasa politik melakukan kooptasi terhadap kekuatan-kekuatan politik atau partai-partai politik. Setelah Masyumi, PSI dan Murba dibubarkan pada masa tahun 1959-1964, giliran PKI dibubarkan pada tahun 1965, praktis kericuhan politik yang diwarnai oleh perbedaan tajam ideologi mengalami penurunan. ABRI sebagai kekuatan utama saat itu disokong oleh birokrasi menjadi pilar rezim baru tersebut. Melalui Golongan Karya (Golkar), sebuah wadah politik untuk menghimpun kelompok-kelompok fungsional, maka ABRI dan Birokrasi "mengendalikan" kehidupan politik. Tahun 1971 pada saat diadakan Pemilu kedua, Golkar meraup 63% suara dari total 100% suara sah. Program-program Perbaikan dan Pembangunan Ekonomi diluncurkan, Pemerintah juga mengundang investasi dan bantuan asing, suatu hal yang tidak terjadi di masa lalu, sehingga muncul slogan saat itu "ekonomi adalah panglima" menggantikan slogan lama "politik adalah panglima". Setelah kekuasaan rezim Orde Lama yang kurang lebih selama 20 tahun berkuasa berakhir, kemudian lahirlah Orde Baru di penghujung tahun 1960-an, yang menumbuhkan harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokratisasi. Salah satu harapan dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara negara dan masyarakat. Diharapkan kekuatan politik masyarakat meningkat dan memperoleh tempat yang proporsional dalam proses politik dan pemerintahan, terutama dalam rangka formulasi kebijakan-kebijakan politik baru. Sebaliknya akumulasi dan sentralisasi kekuasaan yang selama Orde Lama begitu jelas terkonstruksikan, diharapkan segera berganti dengan pluralisme kekuasaan. Dalam keadaan semacam itu, demokratisasi diharapkan tumbuh dan terwujud, tidak sekedar menjadi retorika politik pemerintah Orde Baru yang sedang menumbuhkan dirinya itu. Harapan akan tumbuhnya demokrasi di awal Orde Baru dimiliki tidak saja oleh kalangan elit politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, namun juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Studi Francois Raillon menunjukkan bahwa para mahasiswa di kampus-kampus pada saat itu memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik baru yang lebih segar dan demokratis[3] Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang memadai, antara lain menyangkut tiga hal berikut ini. Pertama, berbeda dengan Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru seyogyanya memberikan tempat bagi aktualisasi politik masyarakat. Kedua, rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya kesejajaran dengan gagasan Daniel Bell yang sangat popular saat itu. Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif. Jika demikian pokok pikirannya maka sistem presidensial tersebut harus diimbangi dengan sistem multi partai untuk membentuk parlemen yang betul-betul berfungsi mengawasi presiden. Jadi sebetulnya sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multi partai merupakan jawaban atas pelajaran- pelajaran masa lalu. Jawaban tersebut bukannya tanpa problematik baru. Para ahli perbandingan politik seperti Scott Mainwaring atau Juan Linz dan Arturo Valensuela (Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994, hal 6-8) mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) kelemahan pokok sistem ini. Pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan pemerintahan atau jalan buntu (deadlock) akibat konflik eksekutif- legislatif. Di mana masing-masing merasa memperoleh legitimasi dari rakyat (dual legitimacy), presiden dipilih langsung oleh rakyat demikian pula DPR atau parlemen. Kebuntuan politik ini di dalam sistem yang menganut trias-politica dapat menjurus pada pemerintahan yang terbelah (devided government), di mana presiden dan DPR dikuasai oleh parpol yang berbeda. Bahkan AS negara dengan sistem presidensial paling stabil pun pernah mengalami hal tersebut. Kasus paling akhir adalah semasa jabatan Presiden Bill Clinton yang berasal dari partai Demokrat berhadapan dengan Congress yang dikuasai oleh partai Republik, sehingga sempat terjadi deadlock dalam penentuan budget (APBN). Pendahuluan ini saya cukupkan sampai sini. Dan yang selanjutnya akan dibahas lebih dalam tentang bagaimana kondisi politik di Indonesia pada masa Orde Baru.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana cara mengetahui kondisi politik pada masa Orde Baru?

2.      Apa yang menyebabkan adanya perubahan kebijakan politik pada masa Orde Baru?

 

C.    TUJUAN MASALAH

1.      Untuk mengetahui bagaimana kondisi politik pada masa Orde Baru.

2.      Untuk mengetahui penyebab dari adanya perubahan kebijakan politik pada masa Orde Baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

Seperti yang sudah dicantumkan dalam teks diatas. Politik pada masa orde baru sangat penuh dengan komplikasi di berbagai macam bidang. Kondisi politik di Indonesia pada masa Orde Baru juga memiliki dampak yang sangat sekali besar bagi Indonesia. Dalam bagian ini, akan dijelaskan bagaimana kondisi politik pada masa Orde Baru sebagai berikut:

1.      KEPEMIMPINAN POLITIK, DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIALDALAM PEMBANGUNAN ORDE BARU

Kepemimpinan politik Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari figur Presiden Soeharto sebagai orang kuat di zamannya. Sebagai orang Jawa, Soeharto sangat mengagumi kepemimpinan politik raja-raja Jawa, sampai-sampai hal ini sangat kuat pengaruhnya terhadap pemikiran-pemikiran politik dan kepribadian Soeharto. Oleh karena itu pembahasan tentang hal ini akan dilakukan dengan dengan memakai tolok ukur yang telah dipakai untuk memahami karakter kepemimpinan politik Raja Jawa. Konsepsi dan praktek politik yang dibentuk oleh konsepsi Jawa yang amat khas tentang kekuasaan dikategorikan oleh Ben Anderson[4] menjadi empat pandangan tentang kekuasaan Pertama, bagi masyarakat Jawa kekuasaan itu konkret. Kedua, kekuasaan itu homogen. Ketiga, jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap, dan yang keempat, kekuasaan itu tidak mempersoalkan keabsahan. Tolok ukur yang dipakai untuk memahami kepemimpinan politik tersebut adalah sebagai berikut: a. Hierarki serta Pengaturan Posisi dan Peran Para Pembantu. Secara struktural, Presiden adalah orang yang duduk dalam hierarki tertinggi pemerintahan. Selain dijamin oleh konstitusi, kedudukan hierarkis ini juga dibentuk oleh praktek politik yang dijalankan di negara manapun yang menempatkan ekskutif sebagai pengendali operasi roda pemerintahan dan pemilik kekuasaan riil. Eksekutif, bagaimanapun adalah core of government. Presiden Orde Baru, dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan, tak dapat dihindari lagi menjadi pengisi kursi puncak hierarki politik dan kekuasaan. Dalam praktek politik Orde Baru, posisi puncak hierarki yang diduduki Presiden tersebut praktis ditempatinya "sendiri". Hal ini dimungkinkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, sistem politik Indonesia masa Orde Baru pada dasarnya tidak menempatkan Wakil Presiden sebagai pemegang posisi kunci dalam pemerintahan Jurnal Sosial-Politika, Vol. 6, No. 11, Juli 2005: 23-38 31 yang memiliki kekuasaan riil dan prinsipil. Wapres dalam praktek politik Orde Baru hanya ditempatkan sebagai "ban serep semata". Wapres diberi tugas sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan tugas politik dan pemerintahan sehari-hari. Walaupun Wapres kemudian diberi tugas pengawasan pembangunan, pemberian tugas khusus ini tidak dilengkapi dengan pemilikan wewenang atau otoritas menentukan dan memberikan sanksi secara leluasa apalagi otonom. Kedua, "kesendirian" Presiden dalam hierarki puncak dibentuk pula oleh keberhasilan Presiden dalam mengatur tatakerja para pembantunya, dari tingkat menteri sampai eselon paling bawah. Hal ini diakui oleh Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya, yang dilandasi oleh dua faktor, yaitu: (1) secara yuridis formal konstitusi memang menempatkan Menteri dan aparat pemerintahan lainnya sebagai pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden; (2) Presiden Soeharto berhasil menempatkan dan mengatur para pembantunya (teknokrat maupun militer) dengan sistem kerja yang ketat dan terkendali (Soeharto 1989:426) Sulit dibantah bahwa Presiden Soeharto telah mencapai puncak kekuasaan dalam sistem politik Indonesia dalam pengertian sesungguhnya, dan pada saat yang sama telah berhasil pula memposisikan para pembantunya dalam kedudukan yang memusat dan "mengabdi" kepadanya.

 

2.      DE-SOEKARNOISASI

De-Soekarnoisasi adalah istilah yang merujuk pada upaya untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh Soekarno dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, beragam ideologi Soekarno dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi negara dan direduksi menjadi ideologi Pancasila saja. Pada Agustus 1967, Pemerintah Orde Baru juga menghapuskan lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan Soekarno.[5]

 

3.      PERISTIWA MALARI

Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa Malari merupakan peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan investasi dan korporasi pemerintah Orde Baru. Demonstrasi tersebut berujung dengan kerusuhan sosial di Jakarta. Peristiwa Malari bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat dan Transisi (2001) karya Donald K Emerson, peristiwa Malari mengakibatkan pengrusakan produk mobil dan motor Jepang, bangunan, dan menelan korban jiwa.[6]

 

4.      PENATAAN STABILITAS POLITIK PEMBUBARAN PKI DAN ORGANISASI MASSANYA

Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu partai yang dilarang oleh bangsa Indonesia. Selain bertentangan dengan falsafah negara Pancasila, PKI juga dianggap bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Oleh karena itu pula, langkah awal Presiden Soeharto ialah membubarkan PKI beserta organisasi massanya.

Pembubaran PKI dan organisasi massanya dimulai sejak Letjen Soeharto mendapat mandat Surat Perintah Sebelas Maret. Melalui legitimasi tersebut, ia mengambil beberapa tindakan untuk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan. Pada tanggal 12 Maret 1966, keluar surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Pada 18 Maret 1966, Letjen Soeharto mengamankan 15 mentri yang dinilai terlibat dalam G30S/PKI. Setelah itu, ia memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR[7][8].

 

5.      PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

Penyederhanaan atau penggabungan (fusi) partai pada tahun 1973 merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dinggap menjadi syarat utama dalam mencapai pembangunan ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? Orde Baru diharapkan tidak lagi berorientasi pada Ideologi serta politik, tetapi pada program ekonomi. Menurut pemerintah Orde Baru, tidak stabilnya politik yang terjadi pada masa sebelumnya (Orde Lama) disebabkan oleh sistem kepartaian. Diketahui juga partai politik saat itu sangatlah banyak, sehingga menimbulkan banyak idiologi dan sekaligus kepentingan. Partai politik sulit terkontrol dan akhirnya timbul gerakan-gerakan yang membahayakan bangsa dan Negara. Hal tersebut yang melatarbelakangi perlunya melakukan fusi terhadap kendaraan politik tersebut. Fusi partai tahun 1973 oleh pemerintah tidak serta didasarkan pada persamaan ideologi, tapi pada persamaan program. Sehingga diharapkan dapat membantu pemerintah untuk bersama-sama membangun Indonesia lebih baik.[9] Partai tersebut di fusikan menjadi PPP, Golkar, dan PDIP. Penyederhanaan parpol merupakan suatu keniscayaan karena secara teoritis dengan  sederhananya  jumlah  parpol,  kemungkinan  pasangan  kandidat  presiden

yang akan maju dalam pemilihan presiden bukan dari sebuah parpol atau kelompok parpol yang terlalu kecil jumlahnya (minoritas). Yang menghasilkan seorang presiden  yang  oleh  Juan  Linz  disebut  unexperienced  outsider.  Dengan  sedikitnya partai  maka  gap  jumlah  suara  cenderung  tidak  terlalu  besar.  Begitu  juga  dengan pengelompokan-pengelompokan politik potensial. Situasi demikian membuat presiden terpilih bukan saja merupakan tokoh terbaik kaliber nasional yang didukung partai menengah dan besar, tetapi juga relatif memiliki jaminan sokongan yang lebih solid dan luas di DPR.

 

6.      PEMILIHAN UMUM MASA ORDE BARU

 

mengapa negara kita melaksanakan Pemilihan Umum? Ya benar, Pemilihan Umum merupakan ciri utama suatu negara yang berlandaskan demokrasi, seperti negara kita Indonesia. Pemilu pada masa Orde Baru memiliki keunikan tersendiri dari pada pemilu yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Seperti yang kalian pelajari diatas, keunikan tersebut disebabkan oleh kebijakan fusi partai, sehingga pemilihan umum sejak tahun 1977 hanya dikuti oleh 3 partai politik. Pelaksanaan Pemilu sendiri pada masa orde baru berlangsung enam kali, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada pemilu 1971, peserta partai politik masih cukup banyak yakni 10 partai politik, pada pemilu ini Golongan Karya meraih suara terbanyak. Pemilu selanjutnya dimulai sejak tahun 1977 hingga 1997 partai peserta pemilu diikuti oleh tiga partai politik yakni PPP, Golongan Karya dan PDI, pada pelaksanaan pemilu itu pula Golongan Karya meraih suara terbanyak.

 

7.      DWI FUNGSI ABRI

Konsep Dwi Fungsi ABRI berawal dari konsep "jalan tengah" yang di kemukakan oleh Jendral A.H.Nasution. Dwi Fungsi ABRI diterapkan untuk memberi kesempatan yang luas kepada perwira tentara untuk berpartisipasi dalam bidang non militer. Kebijakan ini bertujuan agar stabilitas politik tetap berjalan dengan baik. Melalui dwi fungsi ABRI, para pewira militer memegang posisi penting pada masa pemerintahan Orde Baru seperti menjadi walikota, gubernur, duta besar, peradilan dll. Peninggalan dwifungsi ABRI pun sampai saat ini masih dapat ditemukan, meskipun pelaksanaan dan kebijakannya telah dihapus. Salah satu peninggalan tersebut ialah banyaknya penamaan jalan terutama di daerah yang menggunakan nama AMD. AMD sendiri merupakan singkatan dari ABRI Masuk Desa. Salah satu program pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan desa dalam rangka mengabdi kepada masyarakat. Program dwifungsi ABRI dihapus sejalan dengan agenda reformasi 98 yang menandai berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUPAN

A.    KESIMPULAN

Lahirnya Orde Baru diawali dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Surat berisi instruksi presiden agar Letjen. Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, segera saja negara yang masih baru ini mengalami berbagai hal seperti pergolakan politik, kerusuhan-kerusuhan, kesulitan ekonomi, lemahnya pemerintahan, dan agresi dari Belanda. Tekanan internal dan eksternal selama kurang lebih 4 (empat) tahun membuat pemerintah Republik Indonesia dapat dikatakan tidak berdaya untuk membenahi semua aspek kehidupan masyarakat. Sampai kemudian tercapai perundingan KMB di Den Haag, Belanda pada 24 Agustus 1949. Sistem Demokrasi Parlementer yang riuh tersebut sampai-sampai tidak dapat menghasilkan suatu UUD baru untuk menggantikan UUD Sementara atau UUD 1945 yang oleh Bung Karno sendiri disebut UUD kilat atau "revolutie grondwet" . Dewan Konstituante yang dibentuk sejak 10 November 1956 belum juga berhasil membakukan UUD baru. Draf akhir konferensi itu menyatakan bahwa Indonesia harus menanggung beban utang Hindia Belanda sebesar 5,6 milyar gulden, serta menambahkan kata serikat pada namanya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Seperti yang dibahas tadi, bahwa orde baru mengeluarkan adanya rencana penyerdehanaan pada Partai Politik, mengapa sih perencenaan itu dilakukan? Karena parta politik mengidap berbagai kecenderungan negative seperti: Berkembangnya  kepemimpinan  yang  personal  dan  oligarkis.  Partai-partai besar  masih  saja  mengusung  pemimpin-pemimpin  lama  yang  sebetulnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Begitu pula elite partai masih saja menyelamatkan kepentingan dan pilihan sang pemimpin, ketimbang mempertahankan integritas dan citra publik partai. Partai yang semestinya merupakan organisasi modern dan rasional, berkembang  menjadi  semacam  paguyuban  arisan  bagi  mobilitas  vertikal para elite politik yang bersaing dalam mempersembahkan loyalitas terhadap sang pemimpin atau ketua umum. Merosotnya  etika  dan  moralitas  politik  kader-kader  partai  ke  titik  paling rendah.  Ketiadaan  etika  dan  moral  ini  yang  bisa  menjelaskan  fenomena korupsi suap dan money politics di kalangan partai dan legislatif.  Partai umumnya miskin visi tentang perubahan dan perbaikan, sehingga  yang  muncul  akhirnya  retorika  dan  slogan-slogan  yang  dangkal dan mengambang. Semua partai bicara keadilan, pembangunan, kesejahteraan, tetapi tidak jelas perbedaan konsep dan solusinya. Sekian karya tulis ini dibuat, mohon maaf apabila ada salah satu sumber yang tidak tervantum maupun kesalahan kalimat dalam penamaan penulis serta pengarang buku. Terima Kasih

 

B.     SARAN

Saran dari penulis adalah untuk mencari berbagai macam referensi dengan rajin juga secara sistematis. Penulis banyak menemukan materi yang dijadikan acuan untuk karya tulis ini di dalam buku historis yang bisa dipinjam di berbagai macam perpustakaan yang ada di sekitar lingkungan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Wahyudi, Lutfi., Demokrasi Orde Baru: Sebuah Catatan Bagi Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Sosial-Politika  Vol.06 No.11: 24-38 (2005)

 

Purworko,. Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia Setelah Reformasi. file:///C:/Users/Hp/AppData/Local/Temp/4878-10638-1-PB.pdf Diakses pada tanggal 14 Oktober 2021. Pukul 15:34

 

Delon, Okto Putra Sunuraz., Orde Baru: Kehidupan Politik Masa Orde Baru. https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Orde%20Baru-BB/Topik-3.html Diakses pada tanggal 15 Oktober 2021. Pukul 00.15

 

Prabowo, Gama,. Kondisi Politik Masa Orde Baru. (2020) https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/01/151016869/kondisi-politik-masa-orde-baru?page=all  Diakses pada tanggal 15 Oktober. Pukul 00.28

 

Haris, Syamsudin,. Potret Partai dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Jakarta (2003)

 

Ahmad, Suhelmi,. Pemikiran Politik Barat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama (2001)

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

[2] bermakna bahwa UUD 1945 adalah UUD yang mengandung gagasan revolusi Indonesia yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya adalah dekolonisasi dan perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

[3] Kutipan tersebut dapat ditemukan dalam buku karya Francois Roillon pada tahun 1974

[4] Anderson merupakan seorang yang jeli dalam mengikuti perkembangan pemerintahan di Indonesia. Dalam buku Revolusi Pemuda 1944-1966

[5] Kondisi Politik Masa Orde Baru,. https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/01/151016869/kondisi-politik-masa-orde-baru?page=all diakses pada tanggal 14 Oktober 2021 pukul 12:17 WIB

[6] ibid

[7] MPRS Merupakan singkatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan DPRGR merupakan singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong

[8] Kondisi Politik Masa Orde Baru,. https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Orde%20Baru-BB/Topik-3.html diakses pada tanggal 14 Oktober 2021 pukul 13.12 WIB

[9] ibid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Dan Soeharto Oleh Ust.Hilmi Amirudin

Peristiwa Kontemporer Dunia (Perpecahan Uni Sovyet)

LATIHAN SOAL SEJARAH INDONESIA