PERKEBUNAN DAN INDUSTRI GULA DALAM PERSPEIKTIF SEJARAH
PERKEBUNAN DAN INDUSTRI GULA DALAM PERSPEIKTIF SEJARAH
TUGAS INDAR CAHYANTO
DALAM Pelatihan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Berbasis Kebutuhan Siswa bagi Guru Mata Pelajaran Sejarah jenjang SMA PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
A.
PENDAHULUAN
Gula tentunya
setiap manusia pasti sering menikmati jenis panganan itu. Biasanya gula di buat
campuran hidangan atau makanan lain seperti kita membuat the, kopi atau kita
memasak terkadang kita menambahkan gula di dalamnya. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia gula memiliki arti bahan
pemanis biasanya berbentuk kristal (butir-butir kecil) yang dibuat dari air
tebu, aren (enau), atau nyiur;ada -- ada semut, pb di mana banyak kesenangan
di situlah banyak orang datang; seperti -- dalam mulut, pb pekerjaan yang sangat
mudah; sesuatu yang sudah dikuasai, anggur gula dari buah
anggur; -- aren gula dari nira enau; batu gula yang berbungkal-bungkal keras
menyerupai batu; buah zat gula yang berasal
dari buah;
Gula adalah
suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditas
perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal
sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan
makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari
sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan
digunakan oleh sel. Sehingga gula memiliki hal yang penting bagi kehidupan
manusia sebagai sumber dari karbohidrat.
Dalam
sejarahnya di Indonesia industry gula pertama kali diperkenalkan oleh
bangsa-bangsa Asing yang masuk ke Indonesia pada abad ke 17 terutama di
perkenalkan oleh orang-orang Belanda yang membuka koloni di Indonesia dengan
membuka perkebunan tebu yang ada di nusantara terutama di Batavia dan pulau
Jawa. Sebagai contoh perkebunan Karet untuk wilayah Sumatera, perkebunan Pala
untuk wilayah Sulawesi, perkebunan Teh, Kopi, Kina, dan Tebu untuk wilayah
Jawa. Seiring berjalannya waktu, banyak pemodal-pemodal besar bermunculan yang
berdampak pada perkembangan industri perkebunan. Salah satu industri yang
mengalami perkembangan yang pesat kala itu adalah Industri gula
Walaupun
demikian sebelumnya gula sudah diperkenalkan pada oleh para pedagang India dan
Arab di Indonesia. Prosses pengelolaannya pun masih sederhana dengan
menggunakan tenaga manusia dan hewan untuk memutar alat pemotong atau pemilah
tebu dalam rangka mengolah pohon tebu tersebut menjadi Gula. Pada masanya tebu
diolah dengan menggunakan cara yang masih primitif untuk menghassilkan gula.
Gula pun pada kala itu hanya digunakan untuk konsumsi terbatas, belum diperjual
belikan secara luas atau bahkan belum menjadi bahan komoditi perdagangan yang
utama. Proses pengepresan atau penggilingan tebu dengan skala yang agak besar
mulai dilakukan pada abad 17 di Batavia yang dilakukan oleh orang Tionghoa.
Akan tetapi pada waktu itu teknologi yang digunakanpun juga masih sederhana
VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) adalah sebuah persekutuan dagang yang
dibentuk oleh pengusaha Belanda yang tergabung dalam Heeren XVII pada 20 Maret 1602. Tujuannya menjalankan
kegiatan monopoli perdagangan di Hindia Timur. Namun sebagai pihak swasta, VOC
memiliki keistimewaan untuk membuat perjanjian dengan para sultan dan membentuk
tentara sendiri untuk membela diri.
Pecahnya perang
Diponegoro (1825–1830) yang mengguncang Jawa saat itu membuat perusahaan asing
VOC mengalami kerugian besar. Berakhirnya perang tersebut membuat VOC kehabisan
Kas Perusahaan. Bahkan anggaran perang untuk strategi Benteng Stelsel yang mampu melumpuhkan Pangeran
Diponegoro terbukti juga mampu melumpuhkan perekonomian investor Eropa yang
memiliki saham di VOC. Jatuhnya perekonomian itu membuat VOC mengangkat Van Den
Bosch menjadi Gubenur Jenderal VOC dan menerapkan strategi tanam paksa ( The
Cultuurstelsel ). Sistem tanam paksa adalah kebijakan untuk membangun kembali
perekonomian VOC dengan memaksimalkan industri perekebunan dengan tenaga petani
Tebu banyak
ditanam di era sistem tanam paksa oleh petani sebagai kewajiban atau bahkan
pajak kepada pemerintah kolonial. Setelah tanam paksa berakhir, penanaman tebu
semakin luas dan industrinya menghasilkan banyak uang bagi pengusaha swasta,
tetapi tidak ke petani. Gairah perekonomian kolonial sangat dipengaruhi oleh
daya tarik dan keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tebu. Penanaman tebu
mendorong pendirian pabrik-pabrik pembuatan gula. Perkebunan tebu dan pabrik
gula menjadi motor perekonomian Hindia Belanda.
B.
PEMBAHASAN
Gula menjadi
salah satu komiditas unggulan untuk Negara Indonesia. Karena secara sumber daya
yang dimiliki harusnya Indonesia dapat memproduksi yang melimpah. Ketersedian
lahan yang luas dan sumber daya manusia juga melimpah ini yang menjadi factor
pendukung produksi gula itu dapat meningkat di Indonesia. Harusnya ini menjadi catatan bagi industry
gula secara nasional bahawa kebutuhan gula memiliki peran penting dalam
kehdupan masyarakat
Hal yang
menarik bagi dunia bisnis di Indonesia adalah berkaitan dengan permintaan gula
dalam negeri yang terus meningkat, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun
sebagai bahan baku industri makanan, minuman, dan farmasi. Konsumsi gula
kristal putih menempati urutan pertama, namun permintaan terhadap gula rafinasi
oleh sektor industri saat ini juga terus meningkat sebesar 1.20 juta ton per
tahun. Hal ini membuka peluang bisnis baru di bidang pergulaan, baik bisnis
skala besar maupun bisnis kecil.
Mengingat gula
sebenarnya diproduksi di dalam tanaman tebu, sementara pabrik hanya memeras
nira tebu untuk diolah menjadi gula
kristal.Selain sebagai komoditas strategis, gula juga menjadi komoditas yang
sarat politis. Tingkat kepentingan terhadap peranan gula tercermin pada upaya
setiap negara dalam melindungi produksi gula domestiknya dari pengaruh
internasional. Sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di
dunia, Indonesia tidak dapat menggantungkan kebutuhan gula domestiknya pada
pasar internasional melalui impor gula saja. Sumber daya alam Indonesia masih
sangat sesuai untuk pengembangan perkebunan tebu yang merupakan tanaman asli
wilayah tropis basah
Sejarah
mencatat bahwa industri gula Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dengan
puncak produksi yang terjadi pada awal tahun 1930 sebesar hampir 3 juta ton,
dengan jumlah pabrik gula (PG) sebanyak 179 PG, dan luas area berkisar 196 592
Ha, serta tingkat produktivitas 14,79 ton/ha yang menempatkan Indonesia menjadi
Negara pengekspor ke-2 di dunia setelah Kuba pada saat itu. Akan tetapi,
setelah era tersebut industri gula Indonesia terus mengalami kemunduran
Membiarkan
industri gula terus mengalami kemunduran dapat menimbulkan masalah bagi
Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.40 juta petani dan
tenaga kerja yang mempunyai ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap
industri ini. Meskipun sebagian dari mereka memungkinkan melakukan usaha lain
di luar industri gula, tetapi khususnya petani tebu lahan tegalan dan pekerja
di pabrik gula tidak akan mudah untuk 6 beralih pada usahatani yang lain Kedua,
kemunduran ini juga berkaitan dengan aset yang besar dan tidak dapat dialihkan
pada kegiatan produktif bidang lain. Apabila diasumsikan nilai aset sebesar 50
persen dari nilai investasi, maka nilai investasi untuk membangun satu pabrik
gula mencapai antara US$ 130-170 juta dan mencapai Rp. 30 triliun untuk seluruh
aset PG di Indonesia. Ketiga, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
berpengaruh langsung terhadap inflasi. Membiarkan ketergantungan kebutuhan
pokok yang harganya sangat berflutuasi akan berkontribusi negatif terhadap
upaya pencapaian ketahanan pangan Dan keempat, beban devisa untuk mengimpor
akan terus meningkat, mengancaman kemandirian bangsa, dan masyarakat akan
kehilangan manfaat ekonomi dari multiplier effects pabrik gula. Menurut
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000 pada lima tahun terakhir rata-rata devisa
yang dikeluarkan telah mencapai US$ 200 juta.
Indonesia selalu impor gula setiap tahun
hingga ratusan ribu ton. Penyebabnya banyak hal, mulai dari masalah produksi,
bahkan sampai ada pihak yang memang diuntungkan adanya impor tersebut.. Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
memproyeksi kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) untuk sektor industri makanan
dan minuman (mamin) serta industri farmasi tumbuh 5-6% tahun ini. Peningkatan
ini mengikuti pertumbuhan kedua sektor industri tersebut yang stabil di atas 7%
per tahun.
Tebu banyak
ditanam di era sistem tanam paksa oleh petani sebagai kewajiban atau bahkan
pajak kepada pemerintah kolonial. Setelah tanam paksa berakhir, penanaman tebu
semakin luas dan industrinya menghasilkan banyak uang bagi pengusaha swasta,
tetapi tidak ke petani. Di masa tanam paksa, gula sebenarnya sudah menjadi
salah satu komoditas penting. Sebagai tanaman musiman, menurut Sejarah Nasional
Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia, ±1700-1900 (2008), nila,
tembakau, dan tebu dapat ditanam di tanah-tanah sawah berseling rotasi dengan
padi dalam jangka waktu setahun. Di masa sistem tanam paksa (1830-1870) inilah
tebu ditanam. Tebu hanya salah satu jenis tanaman yang ditentukan. Para petani
diharuskan menyediakan seperlima tanahnya untuk menanaminya dengan salah satu
tanaman pilihan pemerintah kolonial. Gairah perekonomian kolonial sangat
dipengaruhi oleh daya tarik dan keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tebu.
Penanaman tebu mendorong pendirian pabrik-pabrik pembuatan gula. Perkebunan
tebu dan pabrik gula menjadi motor perekonomian Hindia Belanda.
Menurut
sejarawan Merle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008),
pemerintah kolonial ikut serta meningkatkan produksi gula dengan ujicoba
membudidayakan tebu yang tahan hama. Areal penanaman tebu makin bertambah luas
dan teknologi industri gula juga semakin maju. Lima belas tahun setelah tanam
paksa berakhir, tepatnya pada 1885, produksi gula mencapai 380.400 metrik ton.
Sepuluh tahun setelahnya lagi, pada 1895, sudah mencapai 581.600 metrik ton.
Saat pergantian abad ke 20, produksi gula mencapai 744.300 metrik ton.
“Industri gula ini juga meningkat labanya dengan memotong upah dan juga harga
sewa tanah kepada petani,” tulis Ricklefs. Ia menyimpulkan, "Para
pengusaha industri ini meningkat (kekayaannya), tapi para petani tetap
nestapa.”
Menurut buku
Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, pada 1930 pemerintah kolonial mencatat
terdapat 179 pabrik gula di Jawa, sebagian besar tersebar di Jawa Timur. Jumlah
pabrik gula itu, dengan pelbagai alasan termasuk perkembangan teknologi dan
efisiensi, makin menurun. Saat ini jumlahnya tinggal 62 pabrik gula dan ada
rencana pembangunan 2 pabrik lagi.
Liberalisasi
modal swasta di Jawa ini berdampak, salah satunya, lepasnya penguasaan
tanah-tanah dari tangan rakyat ke perusahaan-perusahaan. Kendati berstatus
disewakan, tapi karena durasi sewa yang panjang, membuat banyak petani beralih
menjadi buruh-buruh di perkebunan. Lapangan kerja memang tersedia, tetapi harus
ditukar dengan status sebagai petani yang merdeka mengolah tanahnya sendiri.
Para petani menjadi tergantung dengan sistem pengupahan dan tidak lagi bisa
sepenuhnya berdiri di kakinya sendiri.
Geertz (1983:
73) berkesimpulan bahwa adanya sistem tanam paksa dan perkebunan tebu
mengarahkan terjadi ledakan jumlah penduduk yang besar di Jawa. Hal seperti ini
disebut involusi pertanian. Maka terjadi reformasi yang dimulai pada akhir
1840-1950 untuk menyederhanakan tanam paksa secara perlahan menjelma menjadi
sebuah perubahan mendasar dalam cara pengorganisasian hasil tanaman. Hasilnya pada akhir tahun 1870
lahirlah sebuah sistem kolonial baru yang menekankan pada pemikiran
liberalisme. Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-undang Agraria guna
mengatur masalah tanah petani. Adanya Undang-undang Agraria berdampak pada
masuknya modal swasta ke Indonesia. Salah satu sektor yang menggiurkan adalah
perkebunan tebu dan kopi. Dengan adanya UU Agraria maka dimulailah masa
kepemilikan Tebu Rakyat (TR) yang saat ini masih ada bagian yang berlaku.
Menurut Pierre
van der Eng (1996: 214), pada masa ini kebanyakan pabrik menggunakan kepala
desa sebagai perantara. Kepala desa bertanggungjawab atas lahan dan suplai
tenaga kerja untuk produksi tebu. Praktek ini menciptakan kesempatan
penyalahgunaan wewenang, karena pabrik dapat menyuap kepala desa untuk
memperoleh lahan pertanian yang menguntungkan. Sebenarnya praktek ini tidak
hanya dilaksanakan dalam produksi gula, tetapi juga di komoditas lain seperti
karet. Tentu masalah ini menjadi fokus berkelanjutan administrator sipil dan
pemerintah. Beberapa peraturan legislasi pun dikeluarkan untuk melindungi
petani melalui sistem pendataan, namun tetap saja perusahaan gula melanjutkan
praktek suap kepada kepala desa.
Selama periode
setelah berakhirnya tanam paksa, lahan yang digunakan untuk perkebunan gula
mengalami peningkatan secara bertahap. Antara tahun 1880-1890 jumlah area yang
digunakan untuk tebu hanya sekitar 3 %. Namun, pada tahun-tahun berikutnya
jumlah area itu selalu mengalami kenaikan konsisten seiring dengan dukungan
teknologi. Pada dekade ini, tiga stasiun penelitian didirikan untuk mengadakan
penelitian yang dapat meningkatkan kualitas jenis tebu dan metode perkebunan
(Metcalf, 1952: 52). Kenaikan jumlah area tersebut mencapai puncaknya pada
periode 1929-1931 dengan 6% area gula dari seluruh lahan irigasi. Setengah dari
total tanah itu disewa langsung dari
para petani, sementara sisanya diperoleh melalui kesepakatan dengan penguasa
lokal di Yogyakarta dan Surakarta.
Penanaman tebu
sudah dikenal di Pulau Jawa pada perempat abad XVIII. Pada awalnya pengusaha
swasta dari Cina dan Eropa mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia yang
diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik tebu. Pada tahun 1950, di Jawa sudah
terdapat 100 pabrik gula, 80 buah di antaranya dibangun di Batavia Dan
selebihnya di Banten, Cirebon dan Pantai Utara Jawa Tengah
Harga gula
yang fluktuatif membuat produksi dari tebu mengalami penaikan dan penurunan.
Hal ini berpengaruh terhadap pembangunan pabrik tebu. Baru setelah tahun 1859
terjadi pembangunan besar-besaran dalam penanaman tebu swasta di Nusantara.
Liberalisasi penerimaan masuknya orang-orang Eropa ke daerah dan
prospek-prospek untuk menghasilkan keuntungan sangat mendorong perkembangan
ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 74 pabrik gula swasta dan BUMN, dan
diantaranya ada 11 pabrik gula milik PTPN X.
Pesatnya
perkembangan industri gula di Pulau Jawa pada tahun 1930, membuat Pulau Jawa
sebagai lumbung gula bagi pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pada tahun tersebut
Pulau Jawa memiliki 179 pabrik gula dan 16 perusahaan tebu yang mengantar Jawa
sebagai penghasil gula terbesar kedua setelah Cuba.
Pertumbuhan
pesat industri gula Jawa tidak dapat dilepaskan dari penggunaan teknologi
terkini untuk meingkatkan hasil produksi. Pada tahun 1900, Jawa telah memiliki
teknologi yang sangat maju dan terintegrasi dengan ekonomi luar. Kemajuan
teknologi dari revolusi industri telah diaplikasikan untuk membentuk jaringan
transportasi (biasanya menggunakan kereta lori) dan komunikasi pabrik gula
(Dick, 2002: 17). Dengan pengaplikasian teknologi ini, distribusi dan
pengolahan gula pun semakin efektif.
Ekspansi masif
dari ekspor gula Jawa hanya terkendala dari kurangnya ruang pengiriman pada
1917-198, sehingga perusahaan gula terpaksa menjual gula dengan harga murah.
Untuk menghindari masalah ini, para produsen gula membentuk Asosiasi Pabrik
Gula Jawa sebagai perwakilan dari 80% produsen gula di Jawa.
Dampak
produksi gula terhadap ekonomi pedesaan cukup siginifikan khususnya di wilayah
Jawa Tengah dan Timur yang menjadi wilayah utama produksi gula Setidaknya ada
empat manfaat dari kehadiran pabrik gula ini: (1).Gaji untuk pekerja; (2).
Pembayaran untuk lahan yang disewa; (3). Sewa untuk kendaraan yang disewa dan
pembayaran untuk suplai material; (4). Meningkatnya daya beli pekerja
perkebunan).
Setelah
usainya Perang Dunia I, pada tahun 1930 diadakan persetujuan “Chad Bourne” yang
menyatakan bahwa Jawa harus mengurangi produksi gulanya dari 3 juta ton gula
menjadi 1,4 juta ton gula. Dan dari jumlah tersebut hanya 1 juta ton saja yang
boleh di eksport. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan pesatnya industri gula
di dunia. Akibat Perang Dunia II, ekonomi dunia semakin memburuk karena
munculnya krisis moneter diberbagai belahan dunia. Hal ini pun juga berimbas
pada perkembangan industri gula di Jawa sehingga banyak pabrik yang terpaksa
ditutup.
Seiring dengan kekalahan bangsa Belanda
atas Indonesia banyak pabrik gula yang ditutup atau bahkan dihancurkan sebagai
simbol kemenangan bangsa Indonesia atas penjajah. Pabrik gula yang kala itu
masih memiliki potensi diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Industri gula di
Jawa dari tahun ketahun semakin mengalami penurunan. Infrastruktur yang tua
yakni warisan dari pemerintah kolonial serta manajemen industri yang kurang
tepat serta tidak adanya peremajaan infrastruktur industri yang laik menjadikan
produksi industri gula di Jawa merosot tajam. Bahkan kini banyak pabrik gula
yang ditutup karena terus merugi.
Situasi agak
pulih menjelang Perang Pasifik, dengan 93 pabrik dan prduksi 1,5 juta ton.
Seusai Perang Dunia II, tersisa 30 pabrik aktif. Tahun 1950-an menyaksikan
aktivitas baru sehingga Indonesia menjadi eksportir netto. Pada tahun 1957
semua pabrik gula dinasionalisasi dan pemerintah sangat meregulasi industri
ini. Sejak 1967 hingga sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula.
Macetnya riset
pergulaan, pabrik-pabrik gula di Jawa yang ketinggalan teknologi, tingginya
tingkat konsumsi (termasuk untuk industri minuman ringan), serta kurangnya
investor untuk pembukaan lahan tebu di luar Jawa menjadi penyebab sulitnya
swasembada gula. Pada tahun 2002 dicanangkan target Swasembada Gula 2007. Untuk
mendukungnya dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (berdasarkan Kepres
RI no. 63/2003 tentang Dewan Gula Indonesia)
Pembangunan
industri berbasis tebu di Indonesia yang lebih bermakna ternyata belum terwujud
hingga kini karena ketidakmampuan mengatasi aneka masalah yang sifatnya
mendasar, seperti tingginya biaya operasional, rendahnya rendemen, kinerja
mesin yang tidak maksimal, impor gula yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam
negeri sehingga menjadi berlebih di pasar, dan lain-lain. Pengembangan industri
berbasis tebu di Indonesia untuk menuju swasembada gula dan beyond sugar
ternyata masih dibayangi potensi timbulnya konflik internal antar pabrik gula
dan ketidakharmonisan antara petani tebu dengan pihak petugas pabrik gula
sehingga menambah angka kehilangan bahan baku tebu setiap tahun dan berpengaruh
pada pasokan tebu ke dalam pabrik gula.
Hendaknya
pemerintah menetapkan kuota impor gula mentah untuk bahan baku produksi gula
rafinasi berdasarkan kebutuhan, mengingat kuota impor yang ditetapkan selama
ini hanya mengacu pada kapasitas menganggur pabrik gula rafinasi. Pemerintah
sudah seharusnya bertindak tegas terhadap pabrik gula rafinasi yang sudah
memperoleh fasilitas bea masuk nol persen selama 3 tahun sesudah pabrik berdiri
untuk memiliki kebun tebu sendiri dengan luas areal sesuai dengan kapasitas
terpasang yang dibangun. Sikap pemerintah yang lebih memanjakan sebelas pabrik
gula rafinasi sangat merugikan pabrik gula di dalam negeri dan petani kebun
karena pasar domestik mengalami kebanjiran gula. Apabila segmentasi pasar gula ingin tetap dipertahankan,
maka ada beberapa langkah kebijakan untuk meningkatkan produksi gula dalam
negeri. Pertama, perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang
disesuaikan dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri. Tarif impor
disesuaikan dengan harga gula mentah di pasar internasional, sehingga harga
jual gula rafinasi minimal sama dengan harga pokok produksi gula kristal.
Kedua, stabilisasi harga gula konsumsi
ditingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak merugikan industri makanan
minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak menyumbang pada inflasi.
Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan kebutuhan pasar gula konsumsi (gula
kristal) terpenuhi, baik dari produksi gula petani maupun dari gula rafinasi
(apabila masih kurang).
Ketiga, untuk menjaga stabilitas harga gula
petani, maka perlu dicegah rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi.Harga
lelang gula kristal milik petani dan pabrik gula harus mampu memberikan
insentif untuk petani meningkatkan produksinya. Biaya usaha tani dan pengolahan
tebu perlu dihitung dengan cermat untuk dapat menentukan HPP gula yang masih
memberikan keuntungan memadai bagi petani tebu
Keempat, untuk mencegah harga gula
menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan stabilisasi harga di dua
tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula milik petani
tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal. Untuk
stabilisasi harga di dua tingkatan pasar ini, pemerintah perlu memiliki lembaga
yang dapat dijadikan instrumen.
Pada sisi usng
Swasembada gula bertujuan untuk mengamankan pasokan yang dibutuhkan oleh masyarakat
dan industri (makanan dan minuman). Kekurangan pasokan dapat meresahkan
konsumen (langsung dan industry Upaya ini memerlukan berbagai perbaikan
budidaya sebagaimana diungkap sebelumnya, yakni perbaikan Swasembada Gula :
Prospek dan Strategi Pencapaiannya (Tajuddin Bantacut) 251 varietas, penyediaan
bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air,
pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu tanaman, dan sebagainya.
Aspek panen dan pasca panen, yang dianggap penting adalah penentuan awal giling
yang tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang
Secara
menyeluruh, inefisiensi pergulaan Indonesia terjadi di on-farm (produksi bahan
baku atau inefisiensi usaha tani) dan off-farm (pengolahan di pabrik serta
pemasaran dan distribusi). Hal ini menjadi penyebab tidak kompetitifnya
industri gula di Jawa. Inefisiensi usaha tani disebabkan oleh banyak faktor
seperti varitas, pengelolaan tanaman dan pemanenan yang kurang atau tidak
optimal sehingga produktivitas dan mutu tebu rendah
Banyak faktor
teknis yang mempengaruhi kinerja pabrik gula khususnya rendemen dan mutu gula.
Selain faktor pabrik yang sudah tua sehingga banyak mesin dan peralatan yang
tidak berjalan secara optimal, faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
efisiensi pabrik gula adalah: (i) hari giling yang belum optimal; (ii)
kapasitas giling yang kecil bahkan banyak yang kurang dari 2.000 ton tebu per
hari; (iii) jam berhenti giling yang tinggi; dan (iv) tingginya biaya produksi
(Dewan Gula Indonesia, 2001).
Kedepan perlu
peningkatan daya saing produksi yang memadai melalui sawsembada maupun
melakukan perbaikan teknis pabrik gula itu sendiri. Pengembangan alih teknologi
sangat diperlukan agara industry gula dapat bersaing dengan industry gula
internasional. Kemudian dapat memperkecil impor gula atau menghentikan impor
untuk menaikan produksi gula local. Hal ini perlu kebijkan dan peran pemerintah
melalui dewan gula nasional untuk mempercepat laju gerak pertumbuhan produksi
gula nasional.
C.
PENUTUP
Gula tak
seindah rasanya yang manis dan penuh kandungan gizi serta karbohidrat tapi gula
banyak sisi negative kalo kita kelebihan kandungan gulanya. Begitu juga
industry nomenklatur sejak colonial hingga saat ini bnayak mewarnai pergulatan
produksi industry secara nasional yang kurang dari cukup sehingga melahirkan
upaya impor gula dari Negara tetangga ketimbang ekspor. Karena kualitas
produksi yang tidak cukup dan hasil produksinya pun tidak sesuai dengan
kebutuhan industry yang ada.
Sejarah
menjadi pembelajaran untuk pemangku keptingan untuk meningkatkan industry gula
agar berpihak kepada petani tebu bukan kepada kepentingan industry saja.
Sejarah menjadi bahan pertimbangan agar membangun sarana industry gula yang
lebih baik dan menciptakan inovasi baru untuk peningkatan industry gula. Tak
ada yang mustahil di Indonesia yang memilik lahan yang cukup luas untuk
meningkatkan produktifitas tebu. Indonesia Negara besar dari sisi sumber daya
alam dan sumber daya manusia.
DAFTAR REVERENSI
- http://ptpn10.co.id/blog/awal-mula-perkebunan-tebu-di-nusantara
- http://blusukanpabrikgula.blogspot.com/2015/05/sejarah-pabrik-gula.html
- "Swastanisasi Gula, Meliberalkan
Jawa", https://tirto.id/cmhe
- https://media.neliti.com/media/publications/9020-ID-perkembangan-industri-gula-indonesia-dan-urgensi-swasembada-gula-nasional.pdf
- https://wawasansejarah.com/industri-gula-indonesia/
- https://ardhipglestari.blogspot.com/2010/02/sejarah-pabrik-gula-hindia
belanda.html
- MENINGKATKAN
DAYA SAING PABRIK GULA DI INDONESIA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN H. Ahmad
Zafrullah Tayibnapis Hj.Made Siti Sundari Lucia Endang Wuryaningsih
Universitas Surabaya
- Swasembada
Gula : Prospek dan Strategi Pencapaiannya Tajuddin Bantacut Fakultas
Teknologi Pertanian IPB Dramaga Bogor PANGAN, Vol. 19 No. 3 September
2010: 245-256
Komentar
Posting Komentar