Perpindahan Ibukota kerajaan Mataram Kuno

Perpindahan Ibukota kerajaan Mataram Kuno

TT TUGAS INDAR CAHYANTO

     Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Berbasis Kebutuhan Siswa bagi Guru Mata Pelajaran Sejarah jenjang SMA PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL 


Kerajaan Mataram Hindu ini pada mulanya terletak di Jawa Tengah sekitar daerah Kedu dan Prambanan. Dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra pada periode Jawa Tengah, serta  Dinasti Isana pada periode Jawa Timur. Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah diperintah oleh dua dinasti yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Budha. Pada awalnya yang berkuasa adalah Dinasti Sanjaya, hal ini sesuai dengan isi dari Prasasti Canggal. Kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah setelah di bawah Raja Panagkaran yang beragama Budha maka muncul Dinasti Syailendra sebagai penguasa daerah Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya terdesak oleh Dinasti Syailendra, mengenai pergeseran kekuasaan tersebut terjadi setelah Rakai Panangkaran berpindah ke agama Budha.3 Kedua dinasti tersebut yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan antara Rakai Pikatan dengan putri Samaratungga yaitu Pramodawardhani. Untuk selanjutnya pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah dikuasai kembali oleh Dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terkhir yaitu Raja Wawa. Pada masa pemerintahan Raja Wawa, yaitu pada awal abad X, Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah mengalami kemunduran dan kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.4

Ibu kota Mataram Kuno atau Medang misalnya, paling tidak pernah pindah dua kali pada periode Jawa Tengah. Buktinya dalam Prasasti Siwagraha (778 Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M) disebutkan Mamratipura dan Poh Pitu sebagai ibu kota. Dalam Prasasti Siwagraha disebutkan Dyah Lokapala ditahbiskan pada 778 Saka di Keraton Medang di Mamaratipura. Sementara Prasasti Mantyasih I mengisahkan seorang raja pada masa lalu yang tinggal di Keraton Medang di Poh Pitu

Dalam dua prasasti yang ditemukan pertama Prasasti Sangguran (982 M) yang ditemukan di Malang Jawa Timur menuliskan bahwa Raja Mataram Kuno di Jawa Tengah yang bernama  Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa) pada tahun 928 M telah meresmikan desa Sangguran sebagai  sebuah sima, sebagai sebuah desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Dalam prasasti Sangguran ini juga disebutkan nama Rakryan Mapatih I hino Mpu Sindok Sri Isanawikramadana, pejabat selain sang raja yang tercantum dalam acara peresmian desa Sangguran menjadi desa sima. Namun setahun kemudian, pada 929 M, gelar Mpu Sindok ini sudah berganti menjadi Sri Maharaja Rake Hino dyah Sindok Sri Isanawikramadharmatunggadewa, sebagaimana yang tertulis di prasasti Turyyan (929) yang ditemukan di Malang Jawa Timur. Kedua Prasasti Turyyan (929 M) juga menyebutkan bahwa Mpu Sindok  membangun pusat pemerintahannya  di Tamwlang, yang sekarang diidentifikasikan sebagai desa Tembelang di daerah Jombang Jawa Timur.

Dari kedua prasasti ini  dapat diketahui bahwa antara tahun 928-929 M, telah terjadi perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno yang semula berada di Jawa Tengah semasa Dyah Wawa, telah beralih ke Tamwlang, Jombang Jawa Timur dan yang telah menjadi penguasanya adalah Mpu Sindok.

Terjadinya perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno  ke Jawa timur ini tentunya berdasarkan beberapa alasan yang kuat. Berbagai faktor tentunya menjadi pertimbangan yang dalam mendirikan pemerintahan yang baru di lokasi yang baru pula. Yang jelas wilayah Jawa Tengah tidak menjadi pilihan dan ditinggalkan karena dianggap "sudah tak layak" untuk dijadikan pusat pemerintahan yang baru.

Hal yang pertama adalah kondisi sosial politik yang semakin tidak stabil akibat perang memperebutkan kekuasaan antar kerabat istana sendiri. Raja Balitung dikudeta oleh Mpu Daksa yang bersekutu dengan Rakai Gurunwangi. Dyah Wawa yang menjadi raja semasa Mpu Sindok masih menjadi Rakryan Mahamantri i Hino juga menjadi raja setelah merebut kekuasaan dari Dyah Tulodhong.

Hal yang kedua yang menjadi penyebab perpindahan ini adalah sebagaimana pendapat yang diajukan oleh van Bemmelem, yang didukung juga oleh Boechari, adalah bahwa pada masa pemerintahan Dyah Wawa (924-929 M) telah terjadi bencana alam akibat letusan gunung Merapi. Letusan gunung Merapi yang disertai dengan gempa bumi, hujan batu dan abu, serta banjir lahar yang hebat, telah menyebabkan rusaknya kondisi ibukota Mataram Kuno di Jawa Tengah.

Boechari (1976) menyatakan bahwa pindahnya pusat kerajaan disebabkan adanya pralaya (bencana besar). Pendapat itu berdasarkan data yang dikemukakan oleh geolog Belanda R.W.Van Bemmelen yang menyatakan bahwa Gunung Merapi (2911 M) seringkali meletus sejak masa lalu. Bahkan terdapat bukti-bukti bahwa gunung itu pernah meletus dahsyat di masa silam mungkin sekali dalam masa Mataram Kuno (Boechari 1976: 14—16).

Bukti-bukti yang mendukung dari pendapat ini adalah dengan ditemukannya beberapa candi yang berhasil digali setelah terkubur di dalam tanah untuk waktu yang berabad-abad seperti candi Sambisari, Morangan, Kedulan,  Kadisoka, dan Kimpulan.

Hal yang ketiga adalah persoalan ekonomi dan perdagangan. Semasa kejayaannya, dari masa pemerintahan raja Panangkaran hingga raja Balitung, Mataram Kuno periode Jawa Tengah ini membangun banyak bangunan-bangunan suci yang berukuran besar dan megah. Candi Borobudur, Candi sewu, Candi Prambanan, candi Palosan dan Candi Boko adalah contohnya.

Jawa Timur menjadi lokasi yang dipilih oleh Mpu Sindok karena wilayahnya yang subur untuk pertanian padi dan secara ekonomi lebih menjanjikan karena adanya pelabuhan dan sungai-sungainya (Brantas dan Bengawan Solo) sangat mendukung dalam perdagangan dengan dunia luar.

Raja Mpu Sindok mendirikan ibu kota kerajaan Mataram Hindu Jawa Timur di tepi Sungai Brantas, dengan tujuan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa Timur. Masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, aktivitas perdagangan tidak hanya di Jawa Timur, tetapi berkembang ke luar wilayah Jawa Timur hingga sampai Asia dan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Timur menjadi pusat aktivitas pelayaran perdagangan di Nusantara Timur. Kota pelabuhan pada masa Kerajaan Mataram Hindu Jawa Timur yaitu Hujung Galuh menurut Pasasti Kamalagyan selalu ramai dikunjungi oleh perahu-perahu dagang dari pulau-pulau di Nusantara dan pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara

Dari ketiga faktor penyebab yang mendorong terjadinya perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur menunjukkan bahwa usaha tersebut setidaknya dilakukan tidak secara tergesa-gesa. Paling tidak usaha tersebut telah dirintis oleh Dyah Wawa.

Akan tetapi rupanya Mpu Sindok terpaksa harus segera memindahkan pusat pemerintahan karena, dalam pandangan saya, disebabkan oleh adanya serangan dari kerajaan Sriwijaya. Jawa tengah berhasil dikuasai oleh pasukan kerajaan Sriwijaya.

Raja Dyah Wawa terbunuh, dan tak ada lagi alasan bagi Mpu Sindok untuk segera berpindah ke Jawa Timur. Tidak hanya memindahkan pusat pemerintahan yang dikatakannya sebagai penerus dari kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah, Mpu Sindok juga membangun wangsa yang baru yaitu Wangsa Isana.

 

Sumber bacaan:

 

1.      https://www.kompasiana.com/jatikumoro/5f281818d541df296f1e5cc2/faktor-faktor-penyebab-perpindahan-pusat-pemerintahan-mataram-kuno-ke-jawa-timur?page=all

2.      http://lppm.stkippgri-sidoarjo.ac.id/files/PERPINDAHAN-KERAJAAN-MATARAM-HINDU-JAWA-TENGAH--KE-JAWA-TIMUR-ABAD-X-DITINJAU-DARI-ASPEK-EKONOMI.pdf

3.      . https://historia.id/kuno/articles/pindah-ibu-kota-sudah-biasa-vVJK1

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Dan Soeharto Oleh Ust.Hilmi Amirudin

PERISTIWA KONTEMPORER DUNIA (PERPECAHAN CEKOSLOWAKIA)

PENGALAMAN DAN HARAPAN DALAM PJJ