pergerakan nasional
Kata “Pergerakan Nasional“ memiliki suatu pengertian yang khas
yakni merupakan sebuah perjuangan yang dilakukan oleh organisasi secara modern
ke arah perbaikan hajat hidup bangsa Indonesia yang disebabkan rasa
ketidakpuasan terhadap keadaan masyarakat yang ada. Dengan demikian istilah ini
mengandung arti yang sangat luas. Gerakan yang mereka jalankan memang tidak
hanya terbatas untuk memperbaiki taraf hidup bangsa tetapi juga meliputi
gerakan di berbagai sektor, seperti: sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan,
kebudayaan, wanita, pemuda dan lain-lain.
Istilah “nasional” berarti bahwa
pergerakan-pergerakan tersebut mempunyai cita-cita nasional untuk mencapai
kemerdekaan bagi bangsanya yang masih terjajah. Disamping itu, sifat pergerakan
pada masa ini lebih bersifat nasional bila dibanding dengan sifat pergerakan
sebelumnya yang bercorak kedaerahan.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya pergerakan nasional, antara lain adalah :
A. Faktor yang berasal
dari luar negeri (eksternal), antara lain: pada waktu itu pada umumnya
bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat. Hal inilah yang
mendorong bangkitnya nasionalisme Asia. Selain itu kemenangan Jepang dalam
perang melawan Rusia tahun 1905 juga membuktikan bahwa ternyata Bangsa Timur
dapat juga mengalahkan Bangsa Barat. Disamping adanya gerakan Turki Muda yang
bertujuan mencari perbaikan nasib.
B. Faktor yang berasal
dari dalam negeri (internal), yaitu adanya rasa tidak puas, penderitaan, rasa
kesedihan dan kesengsaraan dari bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan
penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu sebenarnya sudah lama mereka ungkapkan
melalui perlawanan bersenjata melawan Belanda di berbagi daerah, antara lain:
perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro dll. Namun perlawanan-perlawanan itu menemui kegagalan karena di
antara mereka masih belum ada rasa persatuan nasional. Kegagalan demi kegagalan
inilah yang menyadarkan para pemimpin bangsa atau dalam hal ini kaum pergerakan
nasional untuk merubah taktik dan strategi perjuangan melawan penjajah dalam
mewujudkan cita-cita mereka, yaitu mencapai “Indonesia Merdeka” dengan
mendirikan organisasi-organisasi modern.
MASA AWAL
Masa awal ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi modern antara lain adalah :
A.
Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)
Gagasan pertama pembentukan Budi Utomo
berasal dari dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa dari Surakarta. Ia
menginginkan adanya tenaga-tenaga muda yang terdidik secara Barat, namun pada
umumnya pemuda-pemuda tersebut tidak sanggup membiayai dirinya sendiri.
Sehubungan dengan itu perlu dikumpulkan beasiswa (study fond) untuk membiayai
mereka.
Pada tahun 1908 dr. Wahidin bertemu
dengan Sutomo, pelajar Stovia. Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya pada
pelajar-pelajar Stovia dan para pelajar tersebut menyambutnya dengan baik.
Secara kebetulan para pelajar Stovia juga memerlukan adanya suatu wadah yang
dapat menampung kegiatan dan kehidupan budaya mereka pada umumnya. Sehubungan
dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908 diadakan rapat di satu kelas di Stovia.
Rapat tersebut berhasil membentuk sebuah organisasi bernama Budi Utomo dengan
Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya.
Pada awalnya tujuan Budi Utomo adalah
menjamin kemajuan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Kemajuan ini dapat
dicapai dengan mengusahakan perbaikan pendidikan, pengajaran, kebudayaan,
pertanian, peternakan, dan perdagangan. Namun sejalan dengan berkembangnya
waktu tujuan dan kegiatan Budi Utomo pun mengalami perkembangan.
Pada tahun 1914 Budi Utomo mengusulkan
dibentuknya Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weerbaar). Budi Utomo
menganggap perlunya milisi bumiputra untuk mempertahankan Indonesia dari
serangan luar akibat Perang Dunia Pertama (PD I, 1914 – 1918). Namun, usulan
itu tidak dikabulkan dan justru pemerintah Belanda lebih mengutamakan pembentukan
Dewan Rakyat Hindia (Volksraad). Selanjutnya ketika Volksraad (Dewan Rakyat)
didirikan, Budi Utomo aktif dalam lembaga tersebut. Pada tahun 1932 pemahaman
kebangsaan Budi Utomo makin berkembang maka pada tahun itu pula mereka
mencantumkan cita-cita Indonesia merdeka dalam tujuan organisasi.
B.
. Serikat Islam (SI, Agustus 1911)
Berbeda dengan Budi Utomo yang mula-mula
hanya mengangkat derajat para priyayi khususnya di Jawa, maka organisasi
Serikat Islam mempunyai sasaran anggotanya yang mencakup seluruh rakyat jelata
yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1909 R.M. Tirtoadisuryo
mendirikan perseroan dalam bentuk koperasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Perseroan dagang ini bertujuan untuk menghilangkan monopoli pedagang Cina yang
menjual bahan dan obat untuk membatik. Persaingan pedagang batik Bumiputra
melalui SDI dengan pedagang Cina juga nampak di Surakarta. Oleh karena itu
Tirtoadisuryo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta, Haji
Samanhudi untuk mendirikan Serikat Dagang Islam. Setahun setelah berdiri,
Serikat Dagang Islam tumbuh dengan cepat menjadi organisasi raksasa. Sekitar
akhir bulan Agustus 1911, nama Serikat Dagang Islam diganti menjadi Serikat
Islam (SI). Hal ini dilakukan karena adanya perubahan dasar perkumpulan, yaitu
mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan dan
tolong-menolong di antara kaum muslimin. Anggota SI segera meluas ke seluruh
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar anggotanya adalah rakyat
jelata. Serikat Islam ini dapat membaca keinginan rakyat, dengan membantu
perbaikan upah kerja, sewa tanah dan perbaikan sosial kaum tani. Perkembangan yang
cepat ini terlihat pada tahun 1917 dengan jumlah anggota mencapai 450.000 orang
yang tersebar pada 84 cabang.
Meningkatnya anggota Serikat Islam
secepat ini, membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga. Gubernur
Jenderal Idenburg berusaha menghambat pertumbuhannya. Kebijakan yang diambil
antara lain dengan cuma memberikan izin sebagai badan hukum pada tingkat lokal.
Sebaliknya pada tingkat pusat tidak diberikan izin sebab dianggap membahayakan,
jumlah anggota yang terlalu besar diperkirakan akan dapat melawan pemerintah.
Dalam kongres tahunannya pada tahun
1916, H.O.S Cokroaminoto mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Komite
Pertahanan Hindia. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran politik bangsa Indonesia
mulai meningkat. Dalam kongres itu diputuskan pula adanya satu bangsa yang
menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
Sementara itu orang-orang sosialis yang
tergabung dalam de Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) seperti
Semaun, Darsono, dan lain-lain mencoba mempengaruhi SI. Sejak itu SI mulai
bergeser ke kiri (sosialis). Melihat perkembangan SI itu, pimpinan SI yang lain
kemudian menjalankan disiplin partai melalui kongres SI bulan Oktober 1921 di
Surabaya. Selanjutnya SI pecah menjadi SI “putih” di bawah Cokroaminoto dan SI
“merah” di bawah Semaun dan Darsono. Dalam Perkembangan SI “merah” ini
bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah berdiri sejak 23 Mei
1920.
Dalam kongres Serikat Islam di Madiun
pada tahun 1923 nama Serikat Islam diganti menjadi Partai Serikat Islam (PSI).
Partai ini bersifat nonkooperasi yaitu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah
tetapi menginginkan adanya wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
C.
Muhammadiyah (18 November 1912)
Pada tanggal 18 November 1912
Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Organisasi
Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan budaya. Muhammadiyah
bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dalam pelaksanaan hidup sehari-hari
agar sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Muhammadiyah berusaha memberantas
semus jenis perbuatan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan hadits. Di samping
itu, Muhammadiyah juga giat memerangi penyakit TBC (Taklid, Bid’ah dan
Churafat) yang menghinggapi masyarakat khususnya di Jawa.
Praktik Churafat atau lebih dikenal
dengan praktik-praktik amalan ibadah yang salah menurut Islam, karena mendekati
takhayul, perilaku syirik (menyekutukan Tuhan) yang banyak terjadi di
lingkungan Kerajaan Mataram Yogyakarta dan sekitarnya seperti: percaya kepada
kekuatan keris, tombak, peristiwa gerhana bulan dianggap sebagai Buta Ijo
sedang memakan bulan, dan bahkan ada yang percaya kepada Nyi Roro Kidul. Hal
itu barangkali alasan yang dapat menjawab pertanyaan mengapa Muhammadiyah lahir
di kota Yogyakarta.
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah
melakukan berbagai usaha seperti: mendirikan sekolah-sekolah, mendirikan rumah
sakit, mendirikan panti asuhan, mendirikan rumah anak yatim piatu dan
lain-lain.
Di bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan
dan mengelola sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan
Tinggi. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah selain diajarkan agama juga diajarkan
pelajaran umum yang mengacu pada kaidah-kaidah modern. Pendidikan mengenal
sistem kurikulum kelas atau tingkatan, sebagaimana dilakukan sekolah model
Barat.
Dalam perkumpulan Muhammadiyah terdapat
bagian wanita yang disebut Aisyiah, bagian khusus anak gadis disebut Nasyiatul
Aisiyah, dan kepanduan yang disebut, Hizbul Wathan.
D.
. Indische Partij (IP, 1912 )
Organisasi yang sejak berdirinya sudah
bersikap radikal adalah Indische Partij. Organisasi ini dibentuk pada tanggal
25 Desember 1912 di kalangan orang-orang Indo di Indonesia yang dipimpin oleh
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (dr. Danudirja Setiabudi). Cita-citanya
adalah agar orang-orang yang menetap di Hindia Belanda (Indonesia) dapat duduk
dalam pemerintahan. Adapun semboyan IP adalah Indie Voor de Indier (Hindia bagi
orang-orang yang berdiam di Hindia).
Dalam menjalankan propagandanya ke Jawa
Tengah, E.F.E Douwes Dekker bertemu dengan Cipto Mangunkusumo yang telah
meninggalkan Budi Utomo. Cipto Mangunkusumo terkenal dalam Budi Utomo dengan
pandangan-pandangannya yang radikal, segera terpikat pada ide Douwes Dekker.
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Abdul Muis yang berada di Bandung
juga tertarik pada ide Douwes Dekker tersebut. Dengan dukungan tokoh-tokoh
tersebut, Indische Partij berkembang menjadi 30 cabang dengan 7.300 orang
anggota, sebagian besar terdiri atas orang-orang Indo-Belanda.
Indische Partij berjasa memunculkan
konsep Indie voor de Indier yang sesungguhnya lebih luas dari konsep “Jawa
Raya” dari Budi Utomo. Dibandingkan dengan Budi Utomo, Indische Partij telah mencakup
suku-suku bangsa lain di nusantara. Budi utomo dalam perkembangannya
terpengaruh juga oleh cita-cita nasionalisme yang lebih luas. Hal ini dialami
juga oleh organisasi-organisasi lain yang keanggotaannya terdiri atas suku-suku
bangsa tertentu, seperti Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Kaum Betawi, Partai
Tionghoa Indonesia, Serikat Selebes, dan Partai Arab-Indonesia. Cita-cita
persatuan ini kemudian berkembang menjadi nasionalisme yang kokoh, hal ini
menjadi pokok.
Masa akhir Indische Partij terjadi setelah
Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap. Pemerintah Belanda
menganggap Indische Partij mengganggu serta mengancam ketertiban umum. Oleh
karena itu, para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. dr. E.F.E. Douwes Dekker
atau dr. Danudirja Setiabudi dibuang ke Kupang (NTT), dr. Cipto Mangunkusumo
dibuang ke Bandanaira di Kepulauan Maluku, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat
dibuang ke Pulau Bangka. Akhirnya kedua tokoh tersebut meminta dibuang ke
negeri Belanda. Demikian juga Douwes Dekker dibuang ke Belanda dari tahun 1913
sampai dengan 1918.
Pada saat pemerintah Hindia Belanda
merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari Belgia, tokoh yang disebut
terakhir ini juga menulis sebuah artikel berjudul “Als Ik de Netherlander was”
(seandainya aku seorang Belanda) yang berisikan kritikan pedas terhadap
pemerintah. Kelak karena permohonan ketiga tokoh itu sendiri, akhirnya mereka
dibuang ke negeri Belanda.
E. Taman Siswa
Taman Siswa merupakan
lembaga pendidikan nasional yang didirikan oleh Soewardi Soerjaningrat (Ki
Hadjar Dewantara) di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga ini bertujuan
menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebudayaan Indonesia. Tujuan tersebut
dapat tercapai dengan Pancadarma Taman Siswa yang meliputi dasar kodrat alam,
dasar kemerdekaan, dasar kebudayaan, dasar kebangsaan atau kerakyatan, dan
dasar kemanusiaan. Dalam pendidikan, Taman Siswa hendak mewujudkan sistem
“among” untuk mengadakan pola belajar asah, asih, asuh. Diterapkan pola
kepemimpinan “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”
yang artinya seorang pemimpin harus dapat menjadi contoh, memberi motivasi, dan
mendorong untuk maju.
2.1.2. MASA RADIKAL
Masa radikal diartikan sebagai suatu
masa yang memunculkan organisasi-organisasi politik yang kemudian dinamakan
“partai”. Beberapa partai yang dimaksud antara lain: PKI (1920), PNI (1927) dan
Partindo (1931). Pada umumnya organisasi-organisasi ini tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita-cita organisasinya.
Mereka dengan tegas menyebutkan tujuannya untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Organisasi-organisasi atau partai ini sudah bergerak dalam bidang politik,
khususnya menentang keputusan pemerintah Belanda. Masa radikal ini juga
diwarnai pengaruh Marxisme dan komunisme.
A.
PERHIMPUNAN INDONESIA
Pada tahun 1908 di negeri Belanda
berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini
didirikan oleh pelajar-pelajar dari Indonesia. Pada mulanya hanya bersifat
sosial yaitu untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama para pelajar
tersebut. Namun sejalan dengan berkembangnya perasaan anti kolonialisme dan
imperialisme setelah berakhirnya Perang Dunia I, organisasi ini juga
menginginkan adanya hak bagi bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya
sendiri. Sehubungan dengan itu Indische Vereeniging berganti nama menjadi
Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan bertujuan untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia.
Sejalan dengan itu majalah Perhimpunan
Indonesia yang semula bernama “Hindia Putra” juga berganti nama menjadi
“Indonesia Merdeka”. Para anggota PI berusaha mengadakan propaganda kemerdekaan
Indenesia. Di samping itu mereka mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan
nasional di berbagai negara di dunia. Antara lain dengan Liga Penentang
Tindasan Penjajah, Internasionale Komunis dan ikut serta pada kongres-kongres
internasional yang bersifat humanistis.
Dalam perjalanannya pada tanggal 10 – 15
Februari 1927 Liga Penentang Tindakan Penjajahan menggelar Kongres
Internasional pertama di Brussel. Tujuan kongres ini yaitu menentang
imperialisme di dunia dan tindakan penjajahan. Dalan kongres Brussel itu hadir
wakil-wakil pergerakan kebangsaan berbagai negara terjajah di dunia termasuk
Indonesia dihadiri oleh Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Gatot Mangkupraja,
Achmad Soebardjo dan Semaun.
Adapun hasil-hasil yang diputuskan dalam
Kongres Brussel adalah:
1). Memberikan dukungan yang sebesar-besarnya
kepada Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dan menyokong pergerakan itu secara
terus menerus dengan segala daya upaya apa pun juga;
2). Menuntut dengan keras kepada
Pemerintah Belanda agar pergerakan Rakyat Indonesia diberi kebebasan bergerak,
menghapus keputusan-keputusan hukuman mati dan pembuangan, serta menuntut
adanya pembebasan tahanan politik bagi kaum pergerakan.
Dengan lahirnya keputusan-keputusan yang
memberikan dukungan kepada kaum pergerakan maka Perhimpunan Indonesia segera
menjadi anggota Liga
Tindakan Anti Penjajahan. Tujuannya
adalah agar kaum pergerakan mendapat perhatian Internasional serta para pemuda
Indonesia bisa berkenalan dengan para tokoh pergerakan bangsa-bangsa lain. Di
samping itu juga untuk menanamkan rasa senasib atau rasa solidaritas dengan
bangsa-bangsa terjajah lainnya seperti: tokoh-tokoh nasional dari India, Indo
Cina, Filipina, Mesir serta tokoh-tokoh pergerakan negara-negara di Pasifik.
Tindakan Perhimpunan Indonesia (PI) itu
membuat Pemerintah Kolonial Belanda bertindak tegas. Empat anggota pengurus
Perhimpunan Indonesia yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Abdul Madjid, dan
Ali Sastroamidjojo ditangkap. Mereka dihadapkan pada sidang pengadilan Maret
1928. Dalam kesempatan tersebut, Mohammad Hatta mengajukan pidato pembelaan
yang berjudul “Indonesia Vry” . Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak
berhasil membuktikan kesalahannya, sehingga merekapun dibebaskan. Kejadian ini
merupakan peristiwa yang penting bagi perjalanan Pergerakan Nasional Indonesia.
Penentangan yang dilakukan membuat PI semakin mendapat simpati dari rakyat
sehingga PI semakin besar.
B.
PNI
Semangat yang tinggi untuk mencapai
cita-cita Indonesia merdeka juga nampak pada Partai Nasional Indonesia. Dalam anggaran
dasarnya ditegaskan secara jelas yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. PNI
berkeyakinan bahwa untuk membangun nasionalisme ada tiga syarat yang harus
ditanamkan kepada rakyat yaitu Jiwa Nasional (nationaale geest), Niat/Tekad
Nasional (nationaale wil), dan Tindakan Nasional (nationaale daad). Dengan cara
ini Partai Nasional Indonesia berusaha dengan kekuatan rakyat sendiri,
memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia.
Pemahaman terhadap ketiga unsur itu
menjadikan masyarakat sadar akan kemelaratannya dalam alam penjajahan. Soekarno
menjelaskan kepada rakyat bahwa masa lampau Indonesia adalah sangat gemilang.
Manusia Indonesia menurut Soekarno (tokoh PNI) dimiskinkan oleh kolonial.
Manusia Indonesia yang memiliki tanah untuk mencari nafkah, tetapi tetap
miskin. Semangat marhaenisme dan nasionalisme yang ditiupkan oleh Bung Karno
mendapat simpati kelompok-kelompok politik. Semangat marhaenisme dan
nasonalisme itulah yang membuat partai-partai politik semakin terbangun
persatuannya. Oleh sebab itu pada akhir tahun 1927 PNI mengadakan suatu rapat
di Bandung yang antara lain dihadiri oleh wakil-wakil dari Partai Serikat
Islam, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Sumatranen Bond dan Kaum Betawi. Rapat
yang dipimpin atau dipelopori Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, pada tanggal
17 Desember 1927 sepakat membentuk suatu badan kerjasama yaitu
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
C.
PPKI
Lahirnya PPPKI mendapat respon dalam kongres
PNI tahun 1928. Dalam kongres itu dikemukakan bahwa ada pertentangan tajam
antara penjajah dan yang dijajah. Belanda, merupakan suatu kekuatan
imperialisme yang mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Itulah sebabnya
tatanan-tatanan sosial, ekonomi dan politik Indonesia hancur lebur. Untuk
mengatasi keadaan ini diperlukan perjuangan politik yaitu mencapai Indonesia
merdeka.
Tidak dapat disangkal bahwa pada masa
pergerakan nasional ini ada unsur-unsur Marxisme turut mempengaruhi sikap
pergerakan nasional. Pemikiran itu disebarkan dalam rapat-rapat, kursus-kursus
dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh PNI.
Pers PNI yang terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan
Persatuan Indonesia (Jakarta) juga membantu penyebaran pandangan ini. Kegiatan
PNI ini dengan pesat menarik perhatian massa. Jumlah anggota PNI pada tahun
1929 diperkirakan 10.000 orang, yang tersebar antara lain di Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, Semarang dan Makassar. Perkembangan PNI ini semakin mengkhawatirkan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan,
tokoh-tokoh PNI, Soekarno dkk ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan pada
18 Agustus 1930.
Dalam pengadilan tersebut, Soekarno
mengajukan pidato pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Tokoh-tokoh
PNI tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara. Setelah tokoh-tokoh pimpinan
PNI ditangkap, PNI kemudian dibubarkan. Selama Ir. Soekarno dipenjara, di dalam
tubuh PNI mengalami pertentangan antara kelompok yang tidak setuju PNI
dibubarkan yaitu PNI Merdeka yang kemudian mendirikan Pendidikan Nasional
Indonesia atau PNI-Baru yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Sedangkan kelompok
lainnya yang dipimpin Sartono yang lebih memilih PNI dibubarkan akhirnya
mendirikan Partindo (Partai Indonesia). Setelah keluar dari penjara Ir.
Soekarno dihadapkan kepada dua pilihan organisasi yang sama-sama berat di
hatinya. Namun demikian, akhirnya Ir. Soekarno memilih masuk Partindo.
Nasionalisme juga berkembang di kalangan
pemuda. Para pemuda yang telah mendirikan berbagai organisasi pemuda juga
merasa perlu untuk menggalang persatuan. Semangat persatuan ini diwujudkan
dalam kongres pemuda pertama di Jakarta pada bulan Mei 1926. Para pemuda
menyadari bahwa nasonalisme perlu ditumbuhkan dari sifat kedaerahan yang sempit
menuju terciptanya kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Namun kongres pertama ini
belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
PPI mengisnisiasi terselenggarakannya
Kongres Pemuda II. Dalam Kongres Pemuda II yang diselenggrakan pada tanggal 27
– 28 Oktober 1928 berbagai organisasi pemuda seperti Sumatranen Bond, Jong
Java, Jong Pasundan, Sekar Rukun, Jong Selebes, Pemuda Kaum Betawi.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda peserta Kongres ini berusaha
mempertegas kembali makna persatuan dan berhasil mencapai suatu kesepakatan
yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, yaitu:
§ Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia.
§ Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indoensia.
§ Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan
bahasa Indonesia.
Dalam penutupan kongres itu pula untuk
pertama kali dikumandangkan lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah Putih
dikibarkan untuk mengiringi lagu tersebut. Suasana haru yang sangat mendalam
memenuhi hati para pemuda yang hadir saat itu. Sebagai tindak lanjut Sumpah
Pemuda pada tanggal 31 Desember 1930 di Surakarta dibentuk organisasi Indonesia
Muda, yang merupakan penyatuan dari berbagai organisasi pemuda, yaitu Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Sekar Rukun dan Pemuda
Indonesia.
Hal itu membuat Pemerintah Belanda
semakin serius mengawasi pergerakan politik bangsa Indonesia. Gubernur Jenderal
De Jonge melakukan tekanan keras terhadap organisasi pergerakan nasional. Ia
mempunyai hak luar biasa untuk menindak setiap gerakan nasional yang dianggap
mengganggu ketentraman dan ketertiban. Partai politik dikenakan larangan rapat.
surat kabar diberangus dan dibakar. Para pemimpinnya ditangkap dan dibuang.
Tindakan pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik
inilah yang menyebabkan hubungan partai-partai politik dengan massa rakyat
terputus. Pemimpin dan pengikut dipisahkan dari kegiatan politik. Polisi
rahasia atau Politieke Inlichtingen Dienst (PID) selalu memata-matai setiap
gerakan dan siap menindak.
MASA BERTAHAN
Pada tahap ini kaum pergerakan berusaha
mencari jalan baru untuk melanjutkan perjuangan. Hal itu dilakukan karena
adanya tindakan keras dari pemerintah. Mereka menggunakan taktik baru, yaitu
dengan bekerja sama dengan pemerintah melalui parlemen. Partai politik
mengirimkan wakil-wakilnya dalam Dewan Rakyat. Mereka mengambil jalan
kooperatif, tetapi sifatnya sementara dan lebih sebagai taktik perjuangan saja.
Perjuangan moderat dan parlementer ini
berlangsung dari tahun 1935 – 1942, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936 – 1942). Hingga saat pemerintah Hindia
Belanda ditaklukkan oleh Jepang, pemberian hak parlementer penuh oleh
pemerintah Belanda kepada wakil-wakil rakyat Indonesia tidak pernah menjadi
kenyataan.
Di antara partai-partai politik yang
melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda adalah Persatuan
Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia Raya. Kelompok Studi Indonesia di
Surabaya menyarankan agar perbedaan antara gerakan yang berasas kooperasi dan
non-kooperasi tidak perlu dibesar-besarkan. Hal yang lebih penting yaitu tujuan
organisasi sama yakni memperjuangkan pembebasan rakyat dari penderitaan lewat
kesejahteraan ekonomi, sosial budaya dan politik.
A.
PBI
Untuk melaksanakan cita-cita
kesejahteraan ekonomi maka Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) mendirikan bank,
koperasi serta perkumpulan tani dan nelayan. Pemakarsanya adalah Dokter Sutomo,
seorang pendiri Budi Utomo. Pada tahun 1932, anggota PBI yang berjumlah 2.500
orang dari 30 cabang menyelenggarakan kongres, kongres tersebut memutuskan
bahwa PBI akan tetap menggalakkan koperasi, serikat kerja, dan pengajaran.
Untuk mencapai tujuan itu maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali
pendidikan rakyat diperhatikan dengan mengadakan kegiatan kepanduan .
B.
PARINDRA
Pada tahun 1935 terjadi penyatuan antara
Budi Utomo dan PBI. Dalam sebuah partai yang disebut Partai Indonesia Raya
(Parindra), Ketuanya adalah Dokter Sutomo. Organisasi-oraganisasi lain yang
ikut bergabung dalam Parindra diantaranya: Serikat Sumatera, Serikat Celebes,
Serikat Ambon, dan Kaum Betawi.
Dengan bergabungnya berbagai organisasi
membuat Parindra semakin kuat dan anggotanya tersebar di mana-mana. Jumlah
anggotanya meningkat pesat. Pada tahun 1936 jumlah anggotanya berkisar 3.425
orang dari 37 cabang. Cita-cita Parindra pun semakin tegas yaitu mencapai
Indonesia merdeka.
Dalam kongresnya tahun 1937,
Wuryaningrat terpilih sebagai ketua dibantu oleh Mohammad Husni Thamrin,
Sukardjo Wiryapranoto, Raden Panji Suroso, dan Susanto Tirtoprojo. Kerjasama
antar anggota cabang-cabangnya menjadikan Parindra sebagai partai politik
terkuat menjelang runtuhnya Hindia Belanda.
C.
PARTINDO DAN GERINDO
Di samping Parindra juga muncul
organisasi lain seperti Partindo. Namun karena desakan pemerintah akhirnya
partai itu bubar pada tahun 1936. Para pemimpinnya melanjutkan perjuangan
dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada tanggal 24
Mei 1937. Tokoh-tokoh yang duduk dalam Gerindo antara lain Mr. Mohammad
Yamin Mr. Sartono,, dan Mr. Amir Syarifuddin. Para pemimpinnya
menginginkan Gerindo menjadi partai rakyat dengan asas kooperasi. Prinsip
demokrasi dipertahankan untuk menahan desakan ekspansi Jepang yang makin dekat.
Perjuangan melawan pemerintah Belanda
terus dilanjutkan. Di pihak lain, para pejuang juga mempersiapkan diri
menghadapi Jepang yang mulai mengarah ke selatan. Namun kemudian terjadi
kericuhan di dalam Gerindo, sehingga perpecahan tidak dapat dihindari. Oleh
sebab itu Mr. Mohammad Yamin mendirikan Partai Persatuan Indonesia pada tanggal
21 Juli 1939. Asas perjuangannya adalah demokrasi kebangsaan dan kerakyatan.
Namun organisasi ini tidak mendapat tempat dalam masyarakat.
Pada masa pemerintah Gubernur Jenderal
Van Limburg Stirum (1916 – 1921) dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat, yaitu
pada tanggal 18 Mei 1918. Anggota dewan dipilih dan diangkat dari golongan
orang Belanda, Indonesia, dan bangsa-bangsa lain. Orang Indonesia yang menjadi
anggota mula-mula berjumlah 39%, kemudian bertambah dalam tahun-tahun
selanjutnya. Tujuan pembentukan Dewan Rakyat adalah agar wakil-wakil rakyat
Indonesia dapat berperan serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dewan ini tidak
mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya, karena yang berhak memilih
anggota dewan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Wakil-wakil
bumiputra tidak banyak mempunyai hak suara.
Meskipun demikian, partai politik yang
berazaskan kooperatif mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam Dewan
Rakyat. Mereka menyalurkan aspirasi (cita-cita, harapan, keinginan) partainya
melalui dewan itu. Sedang golongan nonkooperatif menganggap Dewan Rakyat
hanyalah sandiwara dan mereka tidak mau duduk dalam dewan itu.
Golongan kooperatif berupaya semaksimal
mungkin untuk memanfaatkan Dewan Rakyat. Pada tahun 1930 Mohammad Husni
Thamrin, anggota Dewan Rakyat, membentuk Fraksi Nasional guna memperkuat
barisan dan persatuan nasional. Mereka menuntut perubahan ketatanegaraan dan
penghapusan diskriminasi di berbagai bidang. Mereka juga menuntut penghapusan
beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tentang
penangkapan dan pengasingan pemimpin perjuangan Indonesia serta pemberangusan
pers.
Pada tanggal 15 Juli 1936 Sutarjo
Kartohadikusumo, anggota dewan rakyat, menyampaikan petisi agar Indonesia
diberi pemerintahan sendiri (otonomi) secara berangsur-angsur dalam waktu
sepuluh tahun. Jawaban terhadap petisi Sutarjo baru diberikan oleh pemerintah
dua tahun kemudian. Dapat dipastikan bahwa tuntutan untuk otonomi ini ditolak pemerintah,
sebab hal ini memberi peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial.
Meskipun demikian, para nasionalis tetap gigih memperjuangkan tuntutan itu
lewat forum parlemen semu tersebut.
D.
GAPI
Kegagalan Petisi Sutarjo bahkan menjadi
cambuk untuk meningkatkan perjuangan nasional. Pada bulan Mei 1939 Muh. Husni
Thamrin membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang merupakan gabungan
dari Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia.
Pasundan, Kaum Betawi, dan Persatuan Minahasa. Tujuannya ialah agar terbentuk
kekuatan nasional tunggal dalam menghadapi pemerintah kolonial. Selain itu,
ancaman perang makin terasa karena Jepang sudah bergerak makin jauh ke selatan
dan mengancam Indonesia.
GAPI mengadakan aksi dan menuntut Indonesia
Berparlemen yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia, Pemerintah harus
bertanggung jawab kepada Parlemen. Jika tuntutan itu diterima pemerintah, GAPI
akan mengajak rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah.
Untuk mencapai cita-cita GAPI ini maka
pada tanggal 24 Desember 1939 kaum pergerakan mengadakan Kongres Rakyat
Indonesia. Kegiatan ini antara lain menuntut pemerintah Belanda agar menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Indonesia Raya sebagai lagu
kebangsaan dan bendera merah putih sebagai bendera Nasional.
Pemerintah memberikan reaksi dingin.
Perubahan ketatanegaraan akan diberikan setelah Perang Dunia II selesai. Pada 1
September 1939 pecah perang di Eropa yang kemudian berkembang menjadi Perang
Dunia II. Tuntutan GAPI dijawab Pemerintah dengan pembentukan Komisi Visman
pada bulan Maret 1941. Komisi yang diketuai Visman ini bertugas mengetahui
keinginan kelompok masyarakat Indonesia dan perubahan pemerintahan yang
diharapkan.
Namun Komisi ini hanya menampung hasrat
masayarakat Indonesia yang pro pemerintah dan masih menginginkan Indonesia
tetapi dalam ikatan Kerajaan Belanda. Hasil penyelidikan Komisi Visman tidak
memuaskan. Komisi hanya sekedar memberi angin atau berbasa-basi kepada kaum nasionalis
Indonesia dan tidak sungguh-sungguh menanggapi perubahan ketatanegaraan
Indonesia.
Sebelum hasil Komisi Visman diwujudkan,
Jepang sudah tiba di Indonesia. Meskipun demikian pihak Indonesia telah sempat
mengusulkan 3 hal, yaitu :
1. pelaksanaan hak menentukan nasib
sendiri;
2. penggunaan bahasa Indonesia dalam
sidang Dewan Rakyat;
3. pergantian kata Inlander (pribumi)
menjadi Indonesier.
Untuk menguatkan dan mensukseskan
perjuangan GAPI yaitu “Mencapai Indonesia Berparlemen”, maka kaum pergerakan
mengadakan kongres. Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang sebelumnya hanyalah
kata kerja/kegiatan (verb) kemudian dirubah menjadi seolah-olah sebuah badan
perwakilan (parlemen) bagi bangsa Indonesia.
Anggota KRI di antaranya: 1. Partai
Indonesia Raya (Parindra), 2. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), 3. Paguyuban
Pasundan, 4. Persatuan Minahasa, 5. Persatuan Perkumpulan Pemuda Indonesia
(PPPI), 6. Kongres Perempuan Indonesia (KPI), 7. Istri Indonesia (II), 8.
Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi), 9. Persatuan Politik Katolik Indonesia
(PPKI), 10. Persatuan Hindustan Indonesia (PHI), 11. Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), 12. Partai Islam Indonesia (PII), 13. Partai Arab Indonesia
(PAI), 14. Muhammadiyah, 15. Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), 16. Persatuan
Islam (Persis), 17. Nahdhatul Ulama (NU), 18. Gabungan Serikat Pekerja
Indonesia (Gaspi), 19. PBMTS, 20. Partai Persatuan Indonesia (Parpindo), 21.
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), kemudian yang berasal dari organisasi
Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) seperti: 22.
Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia
(PPPH) yang kemudian berubah menjadi Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra
(PPPB), 23. Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berubah menjadi Persatuan
Guru Indonesia (PGI yang merupakan gabungan dari: VOB, PGB, OKSB, PGAS dan
HKSB), 24. Landelijke Inkomsten Bond (LIB), 25. Perserikatan Kaum Sekerja
Boschwezen (PKSB), 26. Pegawai Mijn Bouw (PMB), 27. Perhimpunan Pegawai Spoor
Tram (PPST).
Kongres Rakyat Indonesia yang mempunyai
anggota tidak kurang dari 27 perkumpulan tersebut segera mempersiapkan
pembentukan parlemen ala Indonesia, yakni dengan merubah Kongres Rakyat
Indonesia menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI). MRI dianggap sebagai suatu
Badan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk sementara sampai terbentuknya parlemen
Indonesia yang sesungguhnya. Sejak tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat
Indonesia secara resmi diganti menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
Di dalam MRI duduk wakil-wakil dari
organisasi politik, organisasi Islam, federasi serikat sekerja, dan pegawai
negeri. Anggota MRI adalah merupakan gabungan dari organisasi-organisasi besar
seperti Gapi, MIAI dan PVPN.
Anggota Gapi (Gabungan Politik
Indonesia) meliputi: Parindra, Gerindo, PII, PPKI, PSII, Persatuan Minahasa dan
Paguyuban Pasundan. Federasi ini merupakan wadah baru setelah PPPKI yang
sebelumnya merupakan federasi dari berbagai perkumpulan beraneka warna lumpuh.
Kemudian MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) ini merupakan federasi dari
organisasi-organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di
Surabaya. Anggota MIAI di antaranya ialah NU, Muhammadiyah, SI dan PII. Rupanya
PII disamping sebagai anggota Gapi juga menjadi anggota MIAI.
Sedangkan PVPN (Persatuan Vakbonden
Pegawai Negeri), merupakan federasi perkumpulan-perkumpulan sarikat sekerja
pegawai negeri yang pada tahun 1930 jumlah anggotanya mencapai 29.700 orang dan
meliputi 13 perkumpulan dan pada akhir masa pergerakan nasional PVPN
beranggotakan 18 organisasi di antaranya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB;
di mana PGHB sendiri merupakan gabungan dari 7 perkumpulan guru-guru dengan
jumlah anggota 15.000, di antaranya yang paling besar dari perkumpulan Volks
Onderwijzers Bond [VOB] yang mempunyai 103 cabang dan 9.000 anggota), dan PGHB
kemudian namanya diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang mencakup
Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambacht School
(PGAS), VOB, Oud Kweekscholieren Bond
(OKSB), Persatuan Normaal School (PNS) dan Hogere Kweekscholieren Bond (HKSB).
Sedangkan anggota PVPN lainnya seperti Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia
(PPPH), Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), Perhimpunan Pegawai
Spoor dan Tram (PPST), Vereniging van Indonesische Personeel bij de Irrigatie,
Waterstaat en Waterschappen (VIPIW), Landelijke Inkomsten Bond (LIB; Kadaster
Bond), Perserikatan Kaum Sekerja Boschwezen (PKSB), VAMOLA, Pegawai Mijn Bouw
(PMB), Persatuan Kaum Verplegers (sters) van Indie (PKVI), PPAVB, Midpost,
Opiumregie, PPTR, VOLTA, PMMB, PPP dan ORBHB.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat
antara organisasi-organisasi yang tergabung dalam MRI, namun persatuan dan
kesatuan kaum Nasionalis terus dipupuk sampai masuknya Tentara Militer Jepang.
Organisasi Wanita
Pelopor gerakan wanita adalah R.A.
Kartini, putri Bupati Jepara Ario Sosrodiningrat. Kartini lahir pada tanggal 21
April 1879. Cita-cita beliau adalah memperbaiki derajat kaum wanita melalui
pendidikan dan pengajaran. Untuk merealisasikan tujuannya itu, Kartini
mengadakan kontak lewat surat dengan wanita Barat dan juga Nusantara.
Surat-surat Kartini inilah oleh Mr. Abendanon dijadikan buku berjudul Habis
Gelap Terbitlah Terang.
Kemudian muncul berbagai organisasi
pergerakan wanita
1. Putri Mardiko (1912)
berdiri di Jakarta, tujuannya memberikan bantuan bimbingan dan penerangan pada
gadis pribumi dalam menuntut pelajaran, tokohnya adalah R.A. Sabaruddin, R.A.
Sutinah, Joyo, dan R.R. Rukmini.
2. Kartini Fonds (dana
Kartini) yang didirikan Ny. T. Ch. Van Deventer (1912) dengan tujuan mendirikan
sekolah bagi kaum wanita, misalnya Maju Kemuliaan di Bandung, Pawiyatan Wanito
di Magelang, Wanito Susilo di Pemalang, Wanito Hadi di Jepara, Budi Wanito di
Solo, dan Wanito Rukun Santoso di Malang.
3. Keutamaan Istri
berdiri berdiri sejak tahun 1904 di Bandung, yang didirikan oleh R. Dewi
Sartika. Pada tahun 1910 didirikan Sekolah Keutamaan Istri, dengan tujuan
mengajar anak gadis agar mampu membaca, menulis, berhitung, punya keterampilan
kerumahtanggaan agar kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kegiatan
ini kemudian mulai diikuti oleh kaum wanita di kota-kota lainnya, yaitu
Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan Padang Panjang
4. Aisyiah didirikan pada
22 April 1917 dan merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti
Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya adalah memajukan pendidikan dan
keagamaan bagi kaum wanita, memelihara anak yatim, dan menanamkan rasa
kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum wanita dapat mengambil peranan aktif
dalam pergerakan nasional.
5. Kerajinan Amal Setia
berdiri di Gadang Sumatra Barat tanggal 11 Februari 1914 dengan ketua Rohana
Kudus. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk meningkatkan pendidikan
wanita seperti cara mengatur rumah tangga, kerajinan tangan, dan cara
pemasarannya.
6. Sarikat Kaum Ibu
Sumatra di Bukittinggi.
7. Perkumpulan Ina Tani
di Ambon.
8. Percintaan Ibu Kepada
Anak Turunannya (PIKAT) didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda
Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Tujuannya: memajukan pendidikan kaum wanita
dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga (1918) sebagai calon
pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat Sekolah Rakyat. Di dalamnya
diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik, keterampilan, dan menanamkan
rasa kebangsaan
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri
cukup banyak, antara lain: Pawiyatan Wanita di Magelang (1915), Wanita Susila
di Pemalang (1918), Wanita Rukun Santoso di Malang, Budi Wanita di Solo, Putri
Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanita Mulya di Yogyakarta (1920), Wanita
Katolik di Yogyakarta (1921), PMDS Putri (1923), Wanita Taman Siswa (1922), dan
Putri Indonesia (1927. Penyebarluasan pengetahuan tentang kewanitaan dilakukan
dengan menerbitkan surat kabar Putri Hindia di Bandung, Wanita Swara di Brebes,
Soenting Melajoe” di Bukittinggi, Putri Mardiko di Jakarta, Estri Oetomo di
Semarang, Soewara Perempuan di Padang, dan Perempuan Bergerak di Medan.
Organisasi Pemuda
Perkumpulan pemuda yang pertama berdiri
adalah Tri Koro Dharmo. Organisasi ini berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di
Jakarta atas petunjuk Budi Utomo. Diprakarsai oleh dr. Satiman Wirjosandjojo,
Kadarman, dan Sunardi. Mereka mufakat untuk mendirikan organisasi kepemudaan
yang anggotanya berasal dari siswa sekolah menengah di Jawa dan Madura.
Perkumpulan ini diberi nama Tri Koro Dharmo yang berarti tiga tujuan mulia
(sakti, budhi, bakti). Adapun tujuan Trikoro Dharmo adalah mencapai jaya raya
dengan jalan memperkukuh persatuan antarpemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan
Lombok. Untuk mencapai tujuan, usaha-usaha yang dilakukan Trikoro Dharmo adalah
menambah pengetahuan umum bagi anggotanya; memupuk tali persaudaraan antarmurid
bumiputra sekolah menengah, sekolah guru, dan sekolah kejuruan; membangkitkan
dan mempertajam perasaan untuk segala bahasa budaya Indonesia, khususnya Jawa.
Pada tahun 1918, nama Trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java.
Organisasi kepemudaan lainnya yang
bersifat kedaerahan banyak bermunculan seperti Pasundan, Jong Sumatranen Bond,
Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes, Timorees Ver Bond, PPPI
(Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia), Pemuda Indonesia, Jong Islamienten
Bond, kepanduan, dan sebagainya.
Sumpah pemuda,
tidak dapat lepas dari organisasi kepemudaan yang bernama PPPI (Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia) yang didirikan pada tahun 1926. PPPI mendapat
dukungan dari sejumlah organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Jong Islamienten
Bond dengan penuh keyakinan ingin mencapai tujuannya yaitu persatuan Indonesia.
Para pemuda ini menginginkan suatu upaya penyatuan peletakan dasar untuk
kemerdekaan dengan menentang ketidakadilan yang dialami selama masa penjajahan.
Organisasi Kepanduan
Sejalan dengan berkembangnya organisasi kepemudaan,
berkembang pula organisasi kepanduan yang beranggotakan para pemuda dari
berbagai gerakan. Diantaranya, Javaansche Padvinderij (NATIPY), dan pandu
pemuda Sumatra (PPS).
Agar terbentuk kerjasama antara organisasi-organisasi
Kepanduan Indonesia (BPPKI) sebagai jawaban atas aspirasi organisasi kepanduan
yang berkembang. Oleh karena itu, muncul organisasi-organisasi fusi lainnya.
Pada tahun 1938, didirikan Badan Pusat Persaudaraan
Kepanduan Indonesia (BPPKI) sebagai jawaban atas aspirasi untuk membentuk wadah
kerja sama yang bisa menggalang persatuan semua organisasi kepanduan.
Komentar
Posting Komentar